Kamis, 14 Oktober 2010

STRATEGI PENERAPAN MBS DI INDONESIA

MAKALAH
Manajemen Berbasis Sekolah
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Slameto, M.Pd


Disusun oleh : Kelas E
Anggota :
1.Astri Yoda Arnaningrum 292008010
2.Tri Hartanti 292008026
3.Nurinayah 292008046
4.Aris Chandra Wibowo 292008061
5.Untari 292008104
6.Alfera Bekti Susanti 292008141


Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2010



Abstraksi

Dalam bidang pendidikan, pemerintah telah menetapkan delapan standar pendidikan. Salah satu isi standar itu adalah standar pengelolaan. Berhubungan dengan pengelolaan sekolah maka pemerintah juga membuat gagasan yang sudah diterapkan di negara lain yang di kenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah.
Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian balitbang diknas menunjukkan bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Manajemen pendidikan juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah, maupun tujuan jangka panjang. Dan sekolah diberikan kewenangan khusus untuk mengembangkannya.
MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (perlibatan masyarakat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. MBS menuntut perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi dalam mengoperasikan sekolah.

Pendahuluan
1.Latar Belakang
Sebuah program yang direncanakan tidak akan berjalan dan berhasil secara maksimal apabila tidak tersedia berbagai faktor pendukung. Faktor pendukung bisa berasal baik dari internal maupun eksternal. Dalam implementasi MBS, secara luas dan mendasar yang amat diperlukan adalah dukungan politik baik itu sekedar political will maupun dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan formal. Dukungan finansial, dukungan sumber daya manusia beserta pemikirannya, dan sarana dan prasarana lainnya juga menjadi faktor pendukung yang penting.
Akhirnya, banyak waktu dan tenaga yang dicurahkan oleh para partisipan sekolah dalam implementasi MBS yang belum komplet tersebut. Konsekuensinya adalah munculnya kefrustasian, ketidakpuasan, menghabiskan tenaga dan akhirnya segera kembali kepada pola sebelumnya. Dampak dari kesalahan semacam ini adalah menurunkan kepercayaan lembaga untuk mengubah dirinya menuju masa depan.
Oleh karena itu, pada tahap awal inisiasi MBS harus dipersiapkan program sosialisasi yang matang agar berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan di sekolah menyadari akan arti pentingnya implementasi MBS. Setelah timbul kesadaran itu maka langkah selanjutnya adalah memberikan pelatihan teknis implementasi MBS.
Dalam suasana seperti ini tampaknya yang diperlukan adalah pengetahuan dan ketrampilan tentang perubahan organisasi atau dinamika organisasi. Perubahan organisasi itu menjadi penting untuk dikemukakan karena orang sering melupakannya dengan asumsi suatu program baru dapat langsung dilaksanakan tanpa mengubah kebiasaan individu, kelompok dan organisasinya. Tetapi, ketika program itu mencakup sesuatu hal yang amat mendasar dan menyeluruh maka akan menghadapi kendala bila tidak dilakukan perubahan organisasinya.

2.Masalah
Strategi yang digunakan untuk mengorganisasi dan menyampaikan program dan pelayanan sekolah serta bagaimana cara mengelola sekolah yang dapat dikatakan sukses

3.Tujuan
Meningkatkan keprofesionalan dan manajerial sekolah secara utuh. Dengan meningkatkan mutu dan sarana prasarana yang mendukung proses pembelajaran.

4.Manfaat
Orangtua : Memberi pemahaman dan bimbingan pribadi di lingkungan rumah pada anak serta pengawasan terhadap anak dalam setiap aktivitas dan pendidikannya dilingkungan rumah.
Guru : Meningkatkan motivasi guru untuk mengembangkan kreatifitas pengajaran. Dan mengembangkan pola pikir guru untuk meningkatkan daya minat siswa dalam proses belajar
Kepala Sekolah : memperketat pengawasan terhadap semua aktifitas dan kinerja seluruh pengelola kelas. Dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang sudah ditetapkan.


Pembahasan

Penerapan MBS di berbagai negara yaitu Kanada, Hongkong, Amerika Serikat dan akhirnya membawa dampak penerapan MBS di Indonesia. Pertama penerapan MBS di Kanada Pendekatan yang digunakan yang dikenal sebagai ( school site Decision-Making ) telah menghasilkan desentralisasi alokasi sumber daya, tenaga pendidik dan kependidikan, perlengkapan, layanan pendidikan dan sebagainya. Menurut nurcholis, kemunculan MBS di Kanada didasari oleh kelemahan manajerial pendekatan fungsional yang mengintrol dan membatasi partisipasi bawahan, yang artinya tidak adanya keseimbangan antara atasan dan bawahan karena kekuatan bawahan diabaikan. Agar kekuatan bawahan menjadi suatu kekuatan nyata maka perlu dilembagakan dalam bentuk MBS. School-site Decision Making dapat dilihat sebagai : solusi bagi ketidakseimbangan ( kekuasaan ) antara atasan dan bawahan, dalam konteks sosial, sebagai alternatif baru bagi sistem administrasi, strategi administratif untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan sekolah. Kedua MBS yang diterapkan di Hongkong. Di Hongkong memiliki 5 kelompok kebijakan SMI yaitu :
1.Peran dan hubungan baru bagi Departemen Pendidikan
2.Peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah
3.Fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah
4.Partisipasi alam pengambilan keputusan
5.Sebagai kerangka acuan dalam hal tingkatam individual dan tingkatan saekolah secara menyeluruh.
Pilar SMI di Hongkong dipilah menjadi 2 bagian yaitu : sistem pelaporan dan akuntabilitas. Yang dimaksud disini, pelaporan atau penilaian direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan kepada dewan serta memperhatrikan penilaian yang dimiliki. Serta akuntabilitas sekolah yang dimaksud sebagai suatu keseluruhan perlu membuat raencana tahunan sekolah, menetapkan tujuan dan kegiatan yang ingin dicapai serta mempertanggungjawabkannya. Jadi SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan. Dalam penyelenggaraan sekolah menekankan partisipasi guru, orangtua, dan siswa tentunya.
Penerapan MBS yang ketiga pada Negara Amerika Serikat. Site-based management dilatarbelakangi oleh munculnya pertanyaan diseputar relevansi dan korelasi hasil pendidikan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Maksudnya kinerja sekolah-sekolah di AS tidak sesuai dengan tuntutan yang diperlukan siswa untuk terjun didunia kerja. Indikasinya adalah prestasi siswa untuk mata pelajaran matematika dan IPA tidak memuaskan. Oleh karena itu MBS di Amerika Serikat sedikit diperbaharui, kemudian Reynolds (1997) menyarankan perlunya restrukturisasi sekolah yang mencakup 4 area utama, yaitu:
a.Bagaimana cara memandang siswa dan pembelajaran
b.Bagaimana cara mendefinisikan program pengajaran dan pelayanan yang diberikan
c.Bagaimana cara mengorganisasi dan menyampaikan program dan pelayanan
d.Bagaimana cara mengelola sekolah
Dari ketiga pandangan penerapan MBS diatas dapat lilihat bagaimana pengaruh yang besar hingga terlahirnya penerapan MBS di Indonesia. Dasar hukum penerapan MBS di Indonesia adalah UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. MBS di Indonesia bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan menigkatkan partisipasi masyarakat. Program ini menekankan pada tiga komponen, yaitu MBS, Peran Serta Masyarakat (PSM), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkan MBS untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Pada tahun 1999 dengan bekerjasama serta bantua dari UNESCO dan UNICEF, program MBS telah dirintis di 124 SD/MI, yang tersebar di 7 kabupaten pada propinsi Jateng (Kab.Magelang, Banyumas, dan Wonosobo), Jatim (Kab.Probolinggo), Sulsel (Kab.Bontang), dan NTT (Kota Kupang). Pada tahun 2002 pemerintah New Zealand membantu pendanaan untuk memantapkan dan menyebarkan program tersebut ditujuh kabupaten/kota rintisan serta untuk mendiseminasikan program ditujuh kabupaten lainnya di Indonesia Timur, termasuk Papua dan NTB. Jumlah SD/MI berkembang menjadi 741 SD/MI. Diseminasi program oleh UNICEF di sejulah kabupaten di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana dari bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank. Beberapa bantuan juga diberikan oleh lembaga bantuan Australia (AusAID), sehingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang ke 40 kabupaten di 9 propinsi dengan 1479 SD/MI.
Replikasi program juga telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat di 30 propinsi di Indonesia. USAID- lembaga bantuan dari pemerintah Amerika Serikat juga telah mengembangkan pragram MBS sejenis di Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu Managing Basic Education (MBE), serta pada tahun 2004 model MBS juga dilaksanakan di 3 kabupaten Jawa Timur dengan dukungan Indonesia-Australia Partnership in Basic Education (IAPBE). Mulai tahun 2005, USAID juga memberikan bantuan untuk model MBS ini di 7 propinsi di Indonesia melalui program Decentralized Basic Education (DBE).
Dari paparan diatas kita dapat mengetahui motifmotif diterapkannya MBS di Indonesia. Ada 8 motif diterapkannya MBS :
a.Motif ekonomi
b.Motif profesional
c.Motif politik
d.Motik efisiensi administrasi
e.Motif finansial
f.Motif prestasi siswa
g.Motif akuntabilitas
h.Motif efektivitas sekolah
Dari motif-motif tersebut diatas, motif terpenting dari penerapan MBS disatu sekolah adalah motif efektivitas sekolah karena dalam motif efektivitas sekolah sudah mencakup semua komponen yang memang harus ada dalam suaru sekolah. Komponen-komponen tersebut adalah
a.Kepemimpinan yang kuat, apa bila sebuah sekolah dipimpin oleh seorang pemimpin yang kuat pasti para bawahanya juga akan kuat dan kegiatan sekolah dapat terorganisir dengan baik.
b.Para guru yang terampil dan berkomitmen tinggi, apa bila sebuah sekolah dididik oleh seorang yang mempunyai keterampilan yang tinggi maka pembelajaran tidak akan membosankan karena para guru akan selalu membuat variasi dalam pembelajaran sehingga peserta didik tidak pernah merasa bosan dan lebih mudah menangkap materi yang diberikan.
c.Mutu pembelajaran yang difokuskan untuk peningkatan prestasi siswa. Mutu pembelajaran sangat penting untuk meningkatkan pestasi belajar siswa karena dengan pelaksanaan pembelajaran yang baik dan tidak membosankan secara otomatis materi yang disampaikan akan lebih mudah ditangkap oleh peserta didik sehingga prestasi peserta didik sedikit demi sediket akan meningkat.
d.Rasa tanggung jawab terhadap hasil. Sekolah yang yang berkulitas tinggi pasti meghasilkan lulusan yang baik oleh karena itu apa bila ingin menjadikan sekolah yang berkualitas maka harus diadakan penbelajaran yang mendukung atau menciptakan lulusan yang baik karena terciptanya lulusan yang baik dipengaruhi oleh proses yang baik pula.

Kemudian dari motif penerapan MBS dapat disimpulkan bagaimana karakter MBS yang harus diterapkan di Indonesia sehingga dapat menjadi sekolah yang mandiri. Karakteristik manajemen berbasis sekolah tentunya tidak terlepas dari pendekatan input, proses, output pendidikan.
a.Input Pendidikan
1.Memiliki kebijakan, tujuan dan sasaran mutu yang jelas.
2.Tersedianya sumberdaya yang kompetitif dan berdedikasi.
3.Memiliki harapan prestasi yang tinggi.
4.Komitmen pada pelanggan
b.Proses pendidikan
1.Efektifitas yang tinggi dalam proses belajar mengajar
2.Kepemimpinan yang kuat.
3.Lingkungan sekolah yang nyaman.
4.Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
5.Tim kerja yang kompak dan dinamis.
6.Kemandirian, partisipatif dan keterbukaan (transparansi)
7.Evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
8.Responsif, antisipatif, kominikatif dan akuntabilitas.
c.Out put yang diharapkan
Tujuan umum peyelenggaraan pendidikan dan konsep dasar manajemen berbasis sekolah.

Karakteristik Sekolah Mandiri Dengan MBS selanjutnya,melalui penerapan MBS akan nampak karakteristik dari profil sekolah mandiri, di antaranya sebagai berikut:
a.Pengelolaan sekolah akan lebih desentarlistik.
b. Perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal dari pada diatur oleh luar sekolah.
c.Regulasi pendidkan menjadi lebih sederhana.
d.Peranan para pengawas bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan mengarahkan menjadi menfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko.
e.Akan mengalami peningkatan manajemen.
f.Dalam bekerja, akan menggunakan team work.
g.Pengelolaan informasi akan lebih mengarah kesemua kelompok kepentingan sekolah.
h.Manajemen sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.

Dalam pelaksanaan MBS ada beberapa hal yang mensyaratkan harus adanya prinsip-prinsip dalam penerapan MBS , yaitu sebagai berikut :
a.Partisipasi
Partisipasi berarti memberikan kesempatan warga sekolah dan masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Ilustrasi penerapannya misalnya setiap 2 bulan sekali di sekolah diadakan rapat yang dihadiri oleh komite sekolah, kepala sekolah, guru, karyawan, orang tua murid atau wali murid jika merupakan suatu yayasan dapat juga ketua yayasan untuk memantau perkembangan sekolah serta evaluasi pendidikan serta memberikan solusi-solusi dalam setiap masalah yang dimiliki oleh sekolah.
b.Transparansi
Yang dimaksud dengan transparansi adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriah kebersamaan untuk meningkatkan mutu sekolah.
Ilustrasi penerapannya misalnya orang tua murid mendapatkan hak untuk mengakses nilai anak mereka melalui sebuah web sekolah atau mendapatkan laporan nilai siswa dari guru kelasnya. Selain itu, orang tua murid mendapatkan transparansi keuangan setiap pembayaran SPP.
c.Akuntabilitas
Akuntabilitas berarti pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat, dan pemerintah, melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Akuntabilitas tidak terlepas dari delapan standar nasioanl pendidikan, yaitu :
Standar isi
Standar proses
Standar kompetensi lulusan
Standar pendidikan dan tenaga kependidikan
Standar sarana dan prasarana
Standar pengeloolaan
Standar pembiayaan
Standar penilaian pendidikan
Ilustrasi penerapannya misalnya setelah pembelajaran berlangsung selama 1 tahun atau 2 semester, kepala sekolah mengadakan rapat terbuka bersama warga sekolah, masyarakat, dan pemerintah mengenai hasil lulusan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan standar penilaian sekolah.

Dapat kita paparkan contoh penerapan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.
a.Prinsip Partisipasi
Dalam pembelajaran dikelas siswa harus aktif. Aktif bertanya, mencari materi sendiri dan berpartisipasif dalam proses belajar. Jadi guru tidak selalu menggunakan metode ceramah. Siswa aktif dan guru pasif.
b.Prinsip Transparansi
Dalam pembelajaran dikelas guru adil dan transparan dalam memberikan nilai. Tidak memandang dari segi apapun kecuali dari potensi kemampuan siswa yang dimiliki. Selain itu guru harus membuat silabus yang benar sebagai bukti yang nyata untuk proses pembelajaran.
c.Prinsip Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam belajar dapat diwujudkan dikelas dengan cara guru menyelesaikan tanggungjawabnya sebagai guru. Harus mengajar sesuai jadwal dan kalender akademik. Menyelesaikan bahan ajar sesuai kurikulum. Sedang siswa bertanggungjawab atas semua dari hasil yang diperoleh, yaitu dalam bentuk prestasi dan nilai-nilai yang bagus.

Latar belakang implementasi MBS salah satunya yaitu adanya perbedaan antara negara, daerah, dan sekolah. Dengan demikian tingkat keberhasilannya pun akan berbeda pula. Untuk itu ada implementasi MBS dan juga strategi MBS. Contoh kriteria keberhasilan manajenen implementasi MBS dalam meningkatkan mutu sekolah:
a.Jumlah siswa yang mendapat layanan pendidikan semakain meningkat.
b.Kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik yang berdampak pada peningkatan prestasi akademik dan non akademik siswa.
c.Tingkat tinggal kelas menurun dan produktifitas sekolah semaki baik.
d.Relevansi pendidikan semakin baik karena program-program sekolah dibuat bersama-sama dengan warga masyarakat dan tokoh masyarakat yang disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan masyarakat.
e.Terjadinya keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan karena penentuan biaya pendidikan tidak dilakaukan secara pukul rata, tetapi didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing keluarga.
f.Meningkatnya keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah, keputusan intruksional maupun organisasional.
g.Iklim dan budaya kerja sekolah semakin baik, berdampak positif terhadap kualitas pendidikan.
h.Kesejahteraan guru dan setaf sekolah membaik.
i.Terjadinya demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan.

Kaitan SPM dengan MBS yaitu SPM digunakan sebagai alat ukur parameter yang berlaku secara nasional. Karena SPM pendidikan mencerminkan spesifikasi teknis layanan pendidikan dan merupakan bagian standar nasional. Indikator pencapaian SPM pendidikan adalah kuantitatif dan kualilatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi, yaitu berupa masukan, proses, hasil dan memanfaatkan pelayanan pendidikan di sekolah. Sedangkan pengertian pelayanan dasar adalah pelayanan pendidikan bagi siswa yang mutlak untuk dipenuhi. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabankan serta mempunyai batas waktu pencapaian.
Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berekreasi, serta sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang tempat bermain / berolahraga, proses pembelajaran, termasuk penggunaan tekhnologi, informasi dan komunikasi. Sebuah SD/MI sekurang-kurangnya memiliki sarana dan prasarana sebagai berikut :
Ruang kelas
Ruang perpustakaan
Laboratorium IPA
Ruang Pimpinan
Ruang Guru
Tempat ibadah
Ruang UKS
Jamban
Gudang
Ruang sirkulasi





Penutup
1.Kesimpulan
Sistem manajemen pendidikan yang sentralistis telah terbukti tidak membawa kemajuan yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Bahkan dalam kasus-kasus tertehtu, manajemen yang sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan kreatifitas pada satuan pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi terjadinya stagnasi di bidang pendidikan ini diperlukan adanya paradigma baru dibidang pendidikan.
Seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju ke arah desentralisasi pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melaJui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS bukan sekedar mengubah penedekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS diyakini akan muncul kemandirian sekolah.
Melalui penerapan MBS, kepedulian masyarakat untuk ikut serta mengontrol dan menjaga kualitas layanan pendidikan akan lebih terbuka untuk dibangkitkan. Dengan demikian kemandirian sekolah akan diikuti oleh daya kompetisi yang tinggi akan akuntabilitas publik yang memadai.

2.Saran
Saran dari kelompok kami diantarannya yaitu :
a.Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya manajemen berbasis sekolah yang memberikan kewenangan penuh (otonomi) kepada sekolah dan guru dalam mengatur pendidikan. Karena tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat diwujutkan secara optimal,efektif,dan efisien.
b.Mbs juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan minat peserta didik, guru-guru, serta kebutuhan masyarakat setempat.
c.Untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan mbs, kepala sekolah, guru dan tenaga adm harus mempunyai dua sifat yaitu profesional dan manajerial mereka harus memiliki pengetahuan yang dalam tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan, sehingga segala keputusan yang diambil didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pendidikan





Daftar Pustaka

Depdiknas. 2009. Manajemen Berbasis Sekolah.

Fattah. Nanang dan Ali. M. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Universitas Terbuka

http://hambatan manajemen berbasis sekolah.id

Rabu, 13 Oktober 2010

MAKALAH MBS KELOMPOK 5

MANAGEMEN BERBASIS SEKOLAH
Tugas ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Managemen Berbasis Sekolah
Dosen pengampu: Prof. Slameto, M. Pd.






Di Susun Oleh :





Disusun oleh:
Kelas : E

Ayu Pramudyawati 292008093
Sujarwatik 292008054
Toni Agus Ardie 292008050
Mifta Andin A. 292008137
Retno Ambar S. 292008189
Ria Yuni A. 292008072



PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2010
ABSTRAK
Perkembangan kebijakan dan implementasi MBS di beberapa negara, ditemui adanya variasi atau perbedaan model maupun pendekatan. Ada model yang lebih mengkonsentrasikan pada pendelegasian keuangan untuk memenuhi sumber daya kepada sekolah (Kanada), ada yang memberikan kepada sekolah fleksibilitas dalam penggunaan sumber daya dan pada saat yang sama juga memberikan kesempatan partisipasi yang lebih besar kepada guru, orang tua, dan bekas siswa (alumni) di dalam pengembangan keputusan (Hongkong); ada yang paket perubahannya lebih luas dengan penyempurnaan kurikulum Di samping itu, sekolah juga memiliki kontrol terhadap keuangan sekolah yang dapat dialokasikan untuk pengembangan sumber daya manusia, dan peningkatan proses pembelajaran. Juga sekolah mempunyai tanggung jawab terhadap pengembangan kurikulum, dan bagaimana menggunakan material dalam proses pembelajaran.



















BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Model MBS di Kanada disebut School – Site Decision Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. MBS di Kanada sudah dimulai sejak tahun 1970. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar dan administrasi, peralatan dan pelayanan. Menurut Sungkowo (2002)16, ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut: penentuan alokasi sumber daya ditentukan oleh sekolah, alokasi anggaran pendidikan dimasukkan ke dalam anggaran sekolah, adanya program efektivitas guru dan adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja. Setiap tahun survey pendapat dilakukan oleh para siswa, guru, kepala sekolah, staf kantor wilayah dan orang tua yang memungkinkan mereka merangking tingkat kepuasan mereka tentang pengelolaan dari hasil pendidikan (Caldwell dan Spinks (1992).
Model MBS di Hongkong lebih dikenal sebagai School Management Initiative (SMI), yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Lahirnya kebijakan SMI ini ialah untuk memecahkan beberapa masalah-masalah pendidikan, seperti: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan, menekankan pada kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai uang. Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu: (a) peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan; (b) peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah; (c) fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah; (d) partisipasi dalam pengambilan keputusan; serta (5) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas. Dengan adanya SMI baik memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti program remedial, bimbingan siswa, dan beberapa penataran dalam-jabatan (inservice training). Kebijakan ini mengubah model manajemen yang sentralistik, serta memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan.
Sistem pendidikan di AS, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (state) bertanggunjawab terhadap pelaksanaan pendidikan. MBS di AS disebut Side-Based Management (SBM) yang menekankan partisipasi dari berbagai pihak.
Dalam konteks MBS di Indonesia, pelaksanaannya masih terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik secara nasional maupun daerah. Dengan MBS, tanggung jawab sekolah menjadi lebih besar. Sekolah dituntut untuk menunjukkan hasil kerjanya sehubungan dengan kewenangan lebih besar yang diperolehnya sebagai bentuk akuntabilitas, baik kepada warga sekolah maupun pemerintah. Selanjutnya, peran komite sekolah yang dalam hal ini merupakan refleksi dari pemangku kepentingan pendidikan kepentingan (orang tua, masyarakat, pengguna lulusan, guru-kepala sekolah, dan penyelenggara pendidikan) terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam pengelolaan pendidikan di sekolah. Pada dasarnya, esensi MBS bukanlah sesuatu yang baru sama sekali di Indonesia. Formalisasi MBS dimaksudkan untuk lebih menekankan pada persoalan yang lebih mendasar dan mendalam tentang bagaimana implementasi MBS yang lebih tepat di sekolah.
Usaha-usaha implementasi MBS di Indonesia terus dilakukan dalam kerangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Menurut Nurcholis (2003:108), sekolah yang menerapkan MBS mempunyai sejumlah ciri, yaitu memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, bersifat adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya dan kondisi kerja, mempunyai komitmen yang tinggi pada dirinya, menjadikan prestasi sebagai acuan dalam penilaian, memiliki kemampuan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, serta meningkatnya kualitas proses pembelajaran.



B. Rumusan Masalah
Dengan diberlakukannya otonomi daerah sebagai perwujudan Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka sebagian besar kewenangan Pemerintah Pusat dilimpahkan ke Pemerintah Daerah. Dengan otonomi dan desentralisasi, diharapkan masing-masing daerah termasuk masyarakatnya akan lebih terpacu untuk mengembangkan daerah masing-masing agar dapat bersaing. Konsekuensi dari otonomi dan desentralisasi juga terjadi di bidang pendidikan. Muara tujuan dari otonomi di bidang pendidikan adalah peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Ada sejumlah hal yang mendasari perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dari sentralistik menjadi desentralistik. Pertama, sistem penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan secara sentralistik menyebabkan tingginya ketergan-tungan kepada keputusan birokrasi. Padahal, kebijakan pusat itu kerap terlalu umum dan kurang sesuai dengan situasi dan sekolah. Akibatnya, sekolah pun menjadi kehilangan kemandirian, inisiatif, dan kreativitas yang pada akhirnya berdampak pada kurangnya motivasi untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan dan tata layanan pendidikan di sekolah. Kedua, kebijakan penyelenggaraan pendidikan terlalu berorientasi pada keluaran pendidikan (output) dan masukan (input), sehingga kurang memperhatikan proses pendidikan itu sendiri. Ketiga, peran serta masyarakat terutama orang tua peserta didik dalam penyelenggaraan pendidikan masih kurang.
Berdasarkan kelemahan-kelamahan tersebut di atas, perlu dilakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik menuju desentralistik melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah. Konsep MBS merupakan salah satu kebijakan nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, dan termuat secara jelas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.

C. Tujuan
Tujuan diterapkannya MBS bermuara pada lebih leluasa dan berdayanya sekolah (otonomi atau mandiri) dalam mengelola sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efisien, serta mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan yang tepat secara partisipatif, transparan, dan akuntabel dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan MBS, sekolah mempunyai tanggung jawab yang besar dalam pengelolaan pendidikan dan pembelajaran di sekolah, sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing.

D. Manfaat
Manfaat MBS adalah sebagai berikut:
a. memperkenankan orang-orang yang berkompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan dapat meningkatkan pembelajaran;
b. memberikan kesempatan kepada komunitas sekolah dalam keterlibatan mengambil keputusan kunci (prioritas);
c. memfokuskan akuntabilitas pada keputusan;
d. mengarah pada kreativitas yang lebih besar dalam mendesain program;
e. mengatur ulang sumber daya untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di sekolah;
f. mengarahkan pada penganggaran yang realistik, yang mendorong orang tua dan guru semakin menyadari akan status keuangan sekolah, batasan pembelanjaan, dan biaya dari setiap program; serta
g. meningkatkan moril para guru dan memelihara kepemimpinan barupada setiap tingkat.













BAB II
PEMBAHASAN

A. Model-model MBS
Sebelum diterapkannya MBS di Kanada, kondisi awalnya adalah semua kebijakan ditentukan dari pusat. Model MBS di Kanada disebut School – Site Decision Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. MBS di Kanada sudah dimulai sejak tahun 1970. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar dan administrasi, peralatan dan pelayanan. Menurut Sungkowo (2002)16, ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut: penentuan alokasi sumber daya ditentukan oleh sekolah, alokasi anggaran pendidikan dimasukkan kedalam anggaran sekolah, adanya program efektivitas guru dan adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja. Setiap tahun survey pendapat dilakukan oleh para siswa, guru, kepala sekolah, staf kantor wilayah dan orang tua yang memungkinkan mereka merangking tingkat kepuasan mereka tentang pengelolaan dab hasil pendidikan (Caldwell dan Spinks (1992) dalam Ibtisam Abu Duhou (2002).17
Model MBS di Hongkong lebih dikenal sebagai School Management Initiative (SMI), yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Lahirnya kebijakan SMI ini ialah untuk memecahkan beberapa masalah-masalah pendidikan, seperti: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan, menekankan pada kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai uang. Cheng (1996: 44) menyatakan bahwa munculnya model SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti program remedial, bimbingan siswa, dan beberapa penataran dalam-jabatan (inservice training). Kebijakan ini mengubah model manajemen yang sentralistik, serta memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan.
Model SMI menetapkan peran-peran mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah, terutama sponsor, “managers” dan kepala sekolah. Hal tersebut memberikan peluang yang lebih besar bagi guru, orang tua, dan alumni (former students) untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making), manajemen; mendorong perencanaan dan evaluasi kegiatan sekolah yang lebih sistematik, serta memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam hal pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Prinsip penyelenggaraan sekolah menekan-kan pada manajemen-bersama (joint management), serta mendorong partisipasi guru, orang tua, dan siswa dalam penyelenggaraan sekolah. Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu: (a) peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan; (b) peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah; (c) fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah; (d) partisipasi dalam pengambilan keputusan; serta (5) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas.
Sistem pendidikan di AS, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (state) bertanggunjawab terhadap pelaksanaan pendidikan. MBS di AS disebut Side-Based Management (SBM) yang menekankan partisipasi dari berbagai pihak. Menurut Wirt (1991) yang dikutip oleh Ibtisam Abu Duhou, model MBS di Amerika Serikat walaupun ada perbedaan di Negara-negara federal, ada dua ciri utama reformasi pendidikan di Amerika Serikat sebagai implementasi dari MBS, yakni :
a. Desentralisasi administratif , kantor pusat otoritas pendidikan menunjuk tugas-tugas tertentu yang dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru di lingkungan sekolah. Kantor pusat menyerahkan kewenangan ke bawah, tetapi sekolah local masih bertanggungjawab keatas.
b. Manajemen berbasis setempat (lokal), suatu struktur yang memberi wewenang kepada para orang tua, guru dan kepala sekolah di masing-masing sekolah untuk menentukan prioritas, mengalokasikan anggaran, menentukan kurikulum, serta menggaji dan memberhentikan.
Namun, dalam konteks MBS di Indonesia, pelaksanaannya masih terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik secara nasional, maupun daerah. Artinya otonomi yang dimaksudkan di dalam penjelasan pasal 51 ayat (1) UU Sisdiknas No. 23 Tahun 2003 merupakan bentuk desentralisasi yang bersifat relatif dan mengacu kepada perundang-undangan dan peraturan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun di daerah. Dengan MBS, tanggung jawab sekolah menjadi lebih besar. Sekolah dituntut untuk menunjukkan hasil kerjanya sehubungan dengan kewenangan lebih besar yang diperolehnya sebagai bentuk akuntabilitas, baik kepada warga sekolah maupun pemerintah.
Selanjutnya, peran komite sekolah yang dalam hal ini merupakan refleksi dari pemangku kepentingan pendidikan kepentingan (orang tua, masyarakat, pengguna lulusan, guru-kepala sekolah, dan penyelenggara pendidikan) terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam pengelolaan pendidikan di sekolah. Artinya, dengan MBS tujuan pendidikan yang diharapkan oleh pemangku dapat dipenuhi. Pada dasarnya, esensi MBS bukanlah sesuatu yang baru sama sekali di Indonesia. Meskipun belum menggunakan istilah MBS, sekolah atau madrasah yang sistem pengelolaannya dilakukan oleh swasta, baik yayasan, pesantren, badan hukum dan sebagainya, telah menerapkan prinsip-prinsip MBS tersebut. Formalisasi MBS dimaksudkan untuk lebih menekankan pada persoalan yang lebih mendasar dan mendalam tentang bagaimana implementasi MBS yang lebih tepat di sekolah.
Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, rintisan program MBS di SD dan MI telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Program ini menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkan manajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Pada tahun 1999 dengan bekerjasama serta bantuan dari UNESCO dan UNICEF, program MBS telah dirintis di 124 SD/MI, yang tersebar di 7 kabupaten pada propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Magelang, Banyumas, dan Wonosobo), Jawa Timur (Kabupaten Probolinggo), Sulawesi Selatan (Kabupaten Bontang), dan Nusa Tenggara Timur (Kota Kupang)..
Selanjutnya, pada tahun 2002, pemerintah New Zealand membantu pendanaan untuk memantapkan dan menyebarkan program tersebut di tujuh kabupaten/kota rintisan serta untuk mendiseminasikan program ke tujuh kabupaten lainnya di Indonesia Timur, termasuk Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Jumlah SD/MI berkembang menjadi 741 SD/MI. Diseminasi program oleh Unicef di sejumlah kabupaten di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank. Beberapa bantuan juga diberikan oleh lembaga bantuan Australia (AusAID), sehingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang ke 40 kabupaten di 9 propinsi dengan 1479 SD/MI.
Replikasi program juga telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat (Depdiknas) di 30 propinsi di Indonesia di bawah lambang “MBS”. Juga, USAID – lembaga bantuan dari pemerintah Amerika Serikat juga telah mengembangkan program MBS sejenis di Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu Managing Basic Education (MBE), serta pada tahun 2004 model MBS juga dilaksanakan di tiga kabupaten Jawa Timur dengan dukungan Indonesia – Australia Partnership in Basic Education (IAPBE). Mulai tahun 2005, USAID juga memberikan bantuan untuk model MBS ini di 7 propinsi di Indonesia melalui program Decentralized Basic Education (DBE).
Usaha-usaha implementasi MBS di Indonesia terus dilakukan dalam kerangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Menurut Nurcholis (2003:108), sekolah yang menerapkan MBS mempunyai sejumlah ciri, yaitu memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, bersifat adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya dan kondisi kerja, mempunyai komitmen ang tinggi pada dirinya, menjadikan prestasi sebagai acuan dalam penilaian, memiliki kemampuan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, serta meningkatnya kualitas proses pembelajaran.

Delapan motif diterapkannya MBS yaitu motif ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah.
a. King dan Kozler (1988) menjelaskan mengapa manajemen lokal secara ekonomi lebih efektif. Mereka mencatat bahwa orang-orang yang mempunyai keuntungan dan kerugian serta mempunyai informasi terbaik tentang apa yang sesungguhnya terjadi di sekolah adalah orang yang mampu membuat keputusan yang tepat tentang bagaimana sekolah seharusnya menggunakan sumber daya dan bagaimana siswa seharusnya belajar.
b. Secara politis, MBS sebagaimana bentuk reformasi desentralisasi lainnya digunakan untuk mendorong adanya partisipasi demokratis dan kestabilan politik, di mana pemerintah pusat memberikan kesempatan mendesentralisasikan beberapa aspek pengambilan keputusan di bidang pendikan untuk mendorong keleluasaan yang lebih besar kepada daerah. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gamage, D (2003:2) yang menyatakan bahwa reformasi pendidikan, termasuk MBS pada dasarnya karena faktor politik, di mana terjadi proses restrukturisasi birokrasi dalam sistem pendidikan di sekolah. Kepala sekolah berbagi kekuasaan dan kewenangan dengan pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan dalam pengambilan keputusan
c. Motif profesional menggambarkan bahwa para profesional sekolah mempunyai pengalaman dan keahlian untuk membuat keputusan pendidikan yang paling tepat untuk sekolah dan siswanya. Para profesional juga dapat memberikan sumbangan pengetahuan pendidikan yang dimiliki berkenaan dengan kurikulum, pedagogik, pembelajaran dan proses manajemen sekolah. Di samping itu, para profesional juga terlibat dalam manajemen sekolah dan juga mampu memberi motivasi dan komitmen yang lebih pada pembelajaran di sekolah
d. Motif efisiensi administrasi menunjukkan bahwa penerapan MBS sebagai alat efisiensi administrasi di sekolah, menempatkan sekolah pada posisi terbaik untuk mengalokasikan sumber daya secara efeketif dalam menemukan kebutuhan para siswa. Banyak sistem yang didesentralisasi mencoba untuk meningkatkan akuntabilitas. Oleh karena itu, berkurangnya tingkat birokrasi pusat mendorong terjadinya efisiensi administrasi yang lebih besar. Efisiensi di tingkat sekolah terjadi ketika partisipan lokal membuat keputusan sendiri.
e. Manajemen Berbasis Sekolah dapat juga digunakan sebagai alat untuk meningkatkan sumber pendanaan sekolah secara lokal. Asumsinya adalah bahwa dengan memberi harapan kepada orang tua dan menerima keterlibatan orang tua dalam pengambilan keputusan di tingkat sekolah, orang tua akan menjadi termotivasi untuk meningkatkan komitmen mereka kepada sekolah. Pada gilirannya, orang tua akan menjadi lebih berkeinginan untuk menyumbangkan uang, tenaga, dan sumber daya lain yang diperlukan kepada sekolah.
f. Menurut laporan Bank Dunia (2004), pentingnya pentingnya MBS adalah untuk meningkatkan akuntabilitas kepala sekolah dan guru terhadap siswa, orang tua, serta mengizinkan pengambil keputusan lokal untuk menentukan gabungan input dan kebijakan pendidikan yang tepat, yang disesuaikan dengan kenyataan dan kebutuhan lokal. Melibatkan para aktor di tingkat sekolah dalam pengambilan keputusan dan pelaporan dapat menciptakan dorongan dan perhatian yang lebih besar untuk peningkatan mutu sekolah. Ketika terjadi desentralisasi pengambilan keputusan sendiri Manajemen Berbasis Sekolah digunakan untuk tujuan meningkatkan akuntabilitas, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan suara dari mereka yang kurang terdengar (atau setidaknya tidak cukup mendengarkan) seperti dalam konteks struktur tata layanan sekolah tradisional. Menciptakan lebih efisien dan hemat biaya sekolah pada struktur administratif sekolah adalah tujuan utama kedua setelah akuntabilitas.
g. Sekolah efektif merupakan salah satu motif diterapkannya MBS. Winkler & Gershberg (1999) berhipotesis bahwa beberapa komponen kunci sekolah efektif boleh jadi dipengaruhi oleh implementasi MBS, yang pada akhirnya dapat meningkatkan komponen-komponen itu untuk perbaikan pembelajaran. Mereka menyelidiki bagaimana MBS mendorong ke arah peningkatan karakteristik kunci tentang sekolah efektif yang mencakup kepemimpinan yang kuat, guru-guru yang terampil dan berkomitmen, berfokus pada peningkatan mutu pembelajaran, dan adanya rasa tanggung jawab terhadap hasil.
h. Meningkatkan prestasi siswa merupakan motif utama untuk memperkenalkan MBS. Hal itu didasari oleh pemikiran bahwa jika orang tua dan para guru diberi otoritas untuk membuat keputusan atas nama sekolah mereka, iklim di sekolah akan berubah untuk mendukung pencapaian prestasi siswa. Meskipun bukti empirik untuk mendukung asumsi itu tidak kuat, tetapi dalam konteks ini, jika MBS sebagai motif dalam implementasi MBS, maka yang diperlukan adalah bagaimana mengubah proses pembelajaran. Ini dapat dilakukan melalui otonomi dalam mendesain pembelajaran untuk meningkatkan prestasi siswa sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.

B. Kendala- kendala yang dihadapi dalam penerapan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
a. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
b. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
c. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

d. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
f. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambi lan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
g. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid.
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya. Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.

C. Saran Pemecahan Masalah atau Strategi Yang Diharapkan untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan.
a. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS.
b. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
c. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
d. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.

D. KARAKTERISTIK MBS
Dalam Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ) memiliki delapan karakteristik yaitu :
1. Misi Sekolah.
Sekolah dengan MBS memiliki cita-cita menjalankan sekolah untuk mewakili sekelompok harapan bersama, keyakinan dan nilai-nilai sekolah, membimbing warga sekolah di dalam aktivitas pendidikan dan arahan kerja. Ini adalah budaya organisasi yang besar pengaruhnya terhadap fungsi dan efektivitas sekolah. Budaya organisasi sekolah yang kuat harus dikembangkan diantara warga sekolah sehingga mereka bersedia berbagi tanggung jawab, bekerja keras dan terlibat secara penuh dalam pekerjaan sekolah untuk mencapai cita-cita bersama. Budaya sekolah yang kuat juga mensosialisasikan warga baru untuk memiliki komitmen terhadap misi sekolah dan dalam waktu yang sama memaksa warga lama bekerjasama secara terus menerus untuk menjalankan misi. Bila kita ingin sekolah kita mengambil inisiatif untuk memberikan kualitas pelayanan yang baik untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang bermacam-macam dan kompleks maka budaya organisasi yang kuat harus dikembangkan oleh warga sekolah untuk sekolahnya sendiri.
2. Hakikat Aktivitas-aktivitas
Sekolah berarti sekolah menjalankan aktivitas-aktivitas pendidikannya berdasarkan karakteristik, kebutuhan dan situasi sekolah. Hakikat aktivitas berbasis sekolah adalah amat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini secara tak langsung mempromosikan perubahan manajemen sekolah dari model manajemen kontrol eksternal menjadi model berbasis sekolah. Ketika sebuah sekolah dikontrol secara eksternal, hanya mengimplementasikan tugas-tugas berdasarkan kebijakan dari otoritas pusat. Isi, metode dan evaluasi pengajaran cenderung mengikuti standar yang sama. Selain itu fasilitas, personel, organisasi, pengajaran dan pengelolaan sekolah semuanya dikontrol secara hati-hati oleh otoritas pusat ekstenal dan oleh karena itu aktivitas-aktivitas sekolah tidak berbasis sekolah.
3. Strategi-strategi Manajemen.
Perubahan arah dari MKE ke MBS dapat direfleksikan dalam aspek-aspek strategi manajemen berikut ini.
a. Konsep atau asumsi tentang hakikat manusia. Berlandaskan pada teori Mc Gregor (1960) MBS menggunakan teori manajemen Y yang berasumsi bahwa manusia tidak memiliki sifat bawaan yang tidak menyukai pekerjaan. Di bawah kondisi tertentu manusia bersedia mencapai tujuan tanpa harus dipaksa dan ia mampu diserahi tanggung jawab. Teori Y menyarankan bahwa partisipasi demokratik, perkembangan profesional dan kemajuan kehidupan kerja adalah penting untuk memotivasi guru-guru dan para siswa. Selain itu berlandaskan teori Maslow (1943) dan Alderfer (1972) bahwa guru dan siswa kemungkinan memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda-beda, diluar keuntungan ekonomi. Mereka mengejar interaksi, afiliasi sosial, aktualisasi diri dan kesempatan berkembang. Dalam rangka memuaskan tingkat kebutuhan yang lebih tinggi mereka bersedia menerima tantangan dan bekerja lebih keras. MBS dapat menyediakan fleksibilitas lebih dan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan-kebuthan guru dan siswa dan memberi peran terhadap talenta-talenta mereka.
b. Konsep organisasi sekolah. Dalam organisasi modern, konsep organisasi telah berubah. Kini orang percaya bahwa sebuah organisasi adalah tempat untuk hidup dan berkembang. Organisasi bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang statis, misalnya produk yang berkualitas. Sekolah sebagai organisasi tidak sekedar tempat persiapan anak-anak dimasa mendatang, tetapi juga tempat untuk siswa-siswa atau guru dan admnistrator untuk hidup, tumbuh dan menjalani perkembangan. Tanpa perkembangan profesional dan keterlibatan yang antusias dari guru-guru dan administrator maka sekolah tak dapat dikembangkan dan ditinkatkan secara terus menerus, dan siswa-siswa tidak memiliki pembelajaran hidup yang kaya. Oleh karena itu dalam sebuah manajemen berbasis sekolah, sekolah tidak hanya tempat membantu perkembangan siswa tetapi juga tempat perkembangan guru dan administrator.
c. Gaya pengambilan keputusan. Dalam MBS maka gaya pengambilan keputusan pada tingkat sekolah adalah pembagian kekuasaan (power sharing) atau partisipasi (partisipation) dengan alasan sebagai berikut: (1). Tujuan sekolah sering tidak jelas dan berubah-ubah. Partisipasi guru, orang tua, siswa dan alumni dapat membantu untuk mengembangkan tujuan yang dapat lebih merefleksikan situasi saat ini dan kebutuhan masa depan. (2). Tujuan sekolah itu beragam dan misi sekolah itu kompleks. Diperlukan intelegensi, imajinasi dan usaha dari banyak orang untuk mencapainya. Partisipasi atau keterlibatan guru, orang tua dan siswa dalam pengambilan keputusan adalah sebuah sumbangan yang penting bagi siswa. (3). Partisipasi dalam pengambilan keputusan memberikan kesempatan kepada warga dan bahkan administrator untuk belajar dan berkembang dan juga mengerti dalam mengelola sekolah. (4). Partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah proses untuk mendorong guru-guru, orang tua dan siswa untuk terlibat di sekolah.
d. Gaya kepemimpinan. Menurut Sergiovanni (1984) terdapat lima tingkat kepemimpinan Kepala Sekolah dari rendah ke tinggi yaitu kepemimpinan teknis, manusia, pendidikan, simbolik dan budaya. Dalam merespon perubahan ke MBS maka gaya kepemimpinan kepala sekolah berubah dari tingkat rendah ke pememimpinan multi tingkat, berarti tidak hanya kepemimpinan teknis dan manusia melainkan juga kepemimpinan kependidikan, simbolik dan budaya.Bila kita yakin bahwa pekerjaan sekolah menjadi kian tak menentu, kompleks dan sulit, dan latar belakang pemikiran dan talenta warga sekolah lebih bermacam-macam dari sebelumnya maka aspek simbolik dan budaya kepemimpinan kepala sekolah harus ditetakankan. Kepala sekolah harus mmberi contoh yang baik untuk membantu warga sekolah memahami dan menghargai makna yang melandasi aktivitas-aktivitas sekolah, menyatukan berbagai perbedaan diantara berbagai warga, mengklarifikasi ketidakpastian dan ambiguitas, mengembangkan keunikan budaya dan misi sekolah, dan memotivasi setiap orang untuk bekerja demi masa depan yang lebih baik.
e. Pengunaan kekuasaan. French dan Reven (1968) mengklasifikasikan kekuasaan menjadi lima kategori yaitu penghargaan, paksaan, legitimasi, referensi dan keahlian. MBS simaksudkan untuk mengembangkan SDM dan mendorong komitten dan inisiatif warga sekolah, maka gaya tradisional dalam penggunaan kekuasaan harus dirubah. Maka administrator disarankan menggunakan kekuasaan terutama keahlian dan referensi, memberi perhatian terhadap pertumbuhan profesional guru, menjadi pemimpin yang profesional terhadap guru-guru dan memberi inspirasi pada guru-guru dan siswa untuk bekerja secara antusias dengan kepribadian mulia mereka.
f. Keterampilan-keterampilan manajemen. Ketika mengadopsi MBS maka pekerjaan manajemen internal menjadi lebih kompleks dan berat oleh karena itu diperlukan konsep-konsep baru dalam keterampilan manajemen baru. Misalnya metode-metode ilmiah untuk analisis keputusan, keterampilan mengelola konflik, strategi efektif untuk perubahan dan perkembangan organisasi.
4. Penggunaan Sumber-sumber Daya.
MBS dalam model school-based budgeting program memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk memiliki otonomi yang lebih besar dalam mengadakan dan menggunakan sumber daya. Dengan demikian, self-budgeting menyediakan suatu kondisi yang penting pada sekolah untuk menggunakan sumberdaya-sumberdaya secara efektif berdasarkan karakteristik dan kebutuhan mereka guna memecahkan masalah yang timbul saat itu dan mengejar tujuan mereka sendiri sepeti yang berlaku di Inggris, Kanada, Australia, Amerika Serikat dan Hong Kong. Namun pada MKE sebagian besar sumber daya dan pengeluaran sekolah-sekolah negeri datang langung dari pemerintah. Pemerintah perlu mengawasi secara dekat bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya. Sehingga pemerintah memerlukan SDM yang banyak dan sumber daya yang besar untuk mengawasi penggunaan sumber daya di sekolah. Setiap aspek pembiayaan sekolah harus berkonsultasi dan minta persetujuan dari pusat. Sekolah tidak mudah untuk mengadakan sumber daya di bawah pertentangan-pertentangan dengan otoritas pusat. Oleh karena itu sekolah tidak dapat menggunakan sumber daya secara efektif dalam rangka memenuhi kebutuhan manajemen dan aktivitas pengajaran.

5. Perbedaan-perbedaan Peran.
Peran warga sekolah secara langsung atau tidak langsung ditentukan oleh kebijakan manajemen pemerintah, misi sekolah, hakikat aktivitas sekolah, strategi-strategi pengelolaan internal sekolah, dan gaya penggunaan sumber daya. Perubahan ke model MBS menuntut peran aktif sekolah, administrator, guru, orang tua dari yang semula pasif.
a. Peran Sekolah. MBS bertujuan untuk mengembangkan siswa, guru dan sekolah menurut karkteristik sekolah itu sendiri. Oleh karena itu peran sekolah adalah gaya pengembangan, inisiatif, memecahkan masalah, dan mengeksplorasi semua kemungkinan untuk memfasilitasi efektivitas pengajaran guru dan efektivitas pembelajaran siswa.
b. Peran Departemen Pendidikan. Dalam MBS aktor kunci adalah sekolah dan peran otoritas pusat (Departemen Pendidikan) hanya sebagai suporter/pendukung atau advisor/penasehat yang membantu sekolah untuk mengembangkan sumber dayanya dan secara khusus untuk menjalankan aktivitas pengajaran efektif.
c. Peran Para Administrator. Peran administrator dalam MBS adalah pengembang dan pemimpin sebuah tujuan. Mereka mengembangkan tujuan-tujuan baru untuk sekolah menurut situasi dan kebutuhannya. Selain itu juga memimpin warga sekolah untuk mencapai tujuan dan berkolaborasi dan terlibat penuh dalam fungsi sekolah. Mereka juga memperlebar sumber-sumber daya untuk mempromosikan perkembangan sekolah.
d. Peran Para Guru. Dalam MBS, cita-cita sekolah dan strategi-strategi pengelolaan mendorong partisipasi dan perkembangan dan peran guru adalah sebagai rekan kerja, pengambil keputusan dan pengimplementasi. Mereka bekerja bersama-sama dengan komitmen bersama dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan untuk mempromosikan pengajaran efektif dan mengembangkan sekolah mereka dengan antusiasme.
e. Peran Para Orang Tua. Dalam MBS, para orang tua menerima pelayanan yang berkualitas melalui siswa-siswa yang menerima pendidikan yang mereka butuhkan. Peran orang tua adalah sebagai partner dan suporter. Mereka dapat berpartisipasi dalam proses sekolah, mendidik siswa secara kooperatif, berusaha membantu perkembangan yang sehat kepada sekolah dengan memberi sumbangan sumber daya dan informasi, mendukung dan melindungi sekolah pada saat mengalami kesulitan dan krisis.
6. Hubungan Antar Manusia.
Dalam terminologi MBS menekankan hubungan antar manusia yang cenderung terbuka, bekerjasama, semangat tim dan komitmen yang saling menguntungkan. Maka iklim organisasi cenderung mengarah ke tipe komitment. Iklim organisasi seperti gaya tanpa pimpinan (headless style), gaya tanpa sepemahaman (disengagement style) dan gaya kontrol (conrol style) dapat merusak pengajaran dan manajemen sekolah serta mempengaruhi efektivitas sekolah.
7. Kualitas para administrator.
Dalam model MBS sekolah memiliki otonomi tertentu. Partisipasi dan perkembangan dipandang sebagai suatu yang penting dalam menghadapi tugas pendidikan yang kompleks dan dalam mengejar efektivitas pendidikan. Dalam kasus ini persyaratan administrator yang berkualitas adalah sangat tinggi/penting. Mereka tidak hanya harus dilengkapi dengan pengetahuan dan teknik manajemen modern untuk mengembangkan sumber daya dan manusia, tetapi juga perlu untuk belajar dan tumbuh secara terus menerus untuk menemukan dan memecahkan masalah demi kemajuan sekolah. Singkatnya, untuk menjadi akrab dengan persyaratan sekolah semacam ini mereka perlu memperluas wawasan dan pemikirannya untuk belajar sehingga mereka dapat mempromosikan demi perkembangan jangka panjang sekolahnya.
8. Indikator-indikator efektivitas.
Pada sekolah-sekolah yang dikontrol dari luar, maka perkembangan misi dan tujuan sekolah tidaklah penting. Indikator utama efektivitas sekolah adalah prestasi akademik pada pada akhir suatu tingkat sekolah, dan mengabaikan proses pendidikan dan pencapaian penting lainnya. Dalam MBS, efektivitas sekolah dinilai menurut indikator multi-tingkat dan multi-segi. Penilaian tentang efektivitas sekolah harus mencakup proses pembelajaran dan metode untuk membantu kemajuan sekolah. Oleh karena itu penilaian efektivitas sekolah harus memperhatikan multi-tingkat yaitu pada tingkat sekolah, kelompok, individual dan indikator multi-segi yaitu mencakup input, proses dan output sekolah disamping perkembangan akademik siswa.
Sementara itu berdasarkan konsep MPMBS karakteristiknya terdiri dari:
1. Output yang diharapkan. Sekolah harus memiliki output yang diharapkan yaitu prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Output bisa berupa prestasi akademik seperti NEM, lomba karya ilmiah remaja, loma Bahasa Inggris, Metematika, Fisika, cara berfikir kritis, kreatif, nalar, rasional, induktif, deduktif dan ilmiah. Juga prestasi non akademik misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olah raga, kesenian dan kepramukaan.
2. Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki karakteristik proses sebagai berikut.
a. Proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi.
b. Kepemimpinan sekolah yang kuat.
c. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.
d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
e. Sekolah memiliki budaya mutu.
f. Sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis.
g. Sekolah memiliki kewenangan/kemandirian.
h. Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat.
i. Sekolah memiliki keterbukaan manajemen.
j. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah.
k. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
l. Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan.
m. Komunikasi yang baik.
n. Sekolah memiliki akuntabilitas.
3. Input pendidikan yang meliputi:
a. Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas.
b. Sumberdaya tersedia dan siap.
c. Staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi.
d. Memiliki harapan prestasi yang tinggi.
e. Fokus pada pelanggan.
f. Input manajemen.

Yang termasuk di dalam bahasan Good Governance atau sering di Indonesiakan menjadi “tata pelayanan yang baik”. Sejak era keterbukaan di Indonesia ketiga kata ini menjadi tema paling populer dalam setiap diskusi dihampir semua tingkatan masyarakat. Di ranah pendidikan juga hal ini bukan sesuatu yang baru, sangat mudah dan enak didiskusikan tapi begitu sulit diimplementasikan. Hakekat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) juga meliputi partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, untuk mengawal dunia pendidikan kearah peningkatan kualitas yang lebih baik. Perubahan paradigma dari sistim pendidikan sentralistik yang kaku, birokratis, dan otoriter dimasa lalu, ke sistim pendidikan yang desentralistik, membutuhkan kerja keras dan waktu yang cukup oleh segenap pemangku kepentingan pendidikan untuk mensosialisasikan secara intensif keberbagai pihak. Dalam proses menggulirkan ketiga prinsip di atas diharapkan mengedepankan prinsip kemandirian, keluwesan dan fleksibilitas melalui komunitas pendidikan di sekolah, karena hal ini menjadi bagian dari hakekat dari MBS maka secara bertahap komunitas sekolah perlu difasilitasi untuk meningkatkan pemahaman dan mendorong terciptanya suasana partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam berbagai aspek pada komunitas sekolah.
Dari sudut pandang regulasi, pada beberapa aturan-aturan yang berkenaan dengan pendidikan juga sudah mengapresiasi ketiga hal di atas, diantaranya UU. No. 20 tahun 2003, PP. No. 19 tahun 2005, UU. No. 23 tahun 2003, karenanya komunitas sekolah juga dirasa perlu memperolah informasi tentang regulasi yang terkait ketiga hal di atas, yang diharapkan dapat mendukung terciptanya dinamika di sekolah yang partisipatif, transparan, dan akuntabel. Manual (modul) ini, mencoba memetakan pemahaman komunitas pendidikan di sekolah secara partisipatif. Diharapkan pemetaan ini dapat menggali pemahaman peserta pelatihan/pendampingan dalam hal pengertian dan bentuk implementasi partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas di sekolah.
Penerapan prinsip partisipasi,transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pembelajaran dikelas ditunjukan dengan keaktivan siswa dikelas dalam proses pembelajaran, siswa diberikan kesempatan untuk bertanya, mengemukakan pendapat serta mengembangkan konsep-konsep yang ada dibenaknya dengan bantuan serta bimbingan dari guru. Transaparsi ditunjukan dengan penilain hasil evaluasi siswa yang transparan, tidak ada pembedaan antara siswa satu dan siswa lainnya.
Prinsip akuntabilitas ditunjukan dengan metode pembelajaran berkelompok, siswa diarahkan untuk belajar secara berkelompok, didalam kelompok tersebut siswa akan lebih aktif namun tidak sedikit pula siswa yang hanya bersifat pasif oleh karena itu diharapkan guru mampu untuk mencadi pembimbing yang baik.

E. IMPLEMENTASI MBS
Sebuah program yang direncanakan tidak akan berjalan dan berhasil secara maksimal apabila tidak tersedia berbagai faktor pendukung. Faktor pendukung bisa berasal baik dari internal maupun eksternal. Dalam implementasi MBS, secara luas dan mendasar yang amat diperlukan adalah dukungan politik baik itu sekedar political will maupun dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan formal. Dukungan finansial, dukungan sumber daya manusia beserta pemikirannya, dan sarana dan prasarana lainnya juga menjadi faktor pendukung yang penting.
Implementasi MBS akan dipengaruhi oleh isu-isu yang berkembang, tantangan dan program dari distrik atau pemerintah daerah. Prioritas apa yang akan ditetapkan oleh pemerintah daerah, berapa dana yang akan dialokasikan, dan seberapa serius akan mengimplementasikan MBS amat tergantung pada pengetahuan dan pemahaman mereka tentang pentingnya MBS.
Kepemimpinan adalah isu kunci dalam MBS, bahkan dalam beberapa terminologi Site Based Leadership digunakan sebagai pengganti Site-Based Management. Dalam implementasi MBS maka diperlukan perspektif dan ketrampilan kepemimpinan baik pada tingkat pemerintahan maupun di tingkat sekolah.
Hal penting lain yang perlu diangkat ke permukaan adalah meningkatkan kualitas lingkungan kerja. Perlu kita ingat kembali bahwa disamping peningkatan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa. MBS juga juga untuk meningkatkan kualitas lingkungan kerja. Lingkungan kerja adlah kondisi tempat karyawan bekerja dalam suatu organisasi seperti sekolah. Kondisi kerja mempunyai hubungan langsung dengan kemampuan anggota organisasi untuk berfungsi secara efektif dalam kegiatan sehari-hari untuk memberikan program pengajaran dan pelayanan.


Ukuran keberhasilan implementasi MBS di Indonesia dapat dinilai setidaknya dari beberapa kriteria di bawah ini :
1. MBS dianggap berhasil apabila jumlah siswa yang mendapat layanan pendidikan semaikin meningkat. Masalah siswa yang tidak bisa mendaftar sekolah karena masalah ekonomi akan dipecahkan secara bersama-sama oelh warga sekolah melalui subsidi silang dari mereka yang ekonominya lebih mampu. Keberhasilan MBS harus dilihat kemampuannya dalam menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan bagi sebagian rakyat Indonesia masih terbatas pada tingkat sekolah dasar sebagai hasil dari program Inpres SD yang dilaksanakan sejak tahun 1974. Ketidak merataan memperoleh kesempatan pendidikan terutama terjadi pada kelompok-kelompok : (a) masyarakat pedesaan dan atau masyarakat terpencil, (b) keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan budaya, (c) wanita, dan (d) penyandang cacat. Persoalan itu berakibat lebih lanjut pada ketimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Semua persoalan itu pada gilirannya dapat menghambat pembanunan nasional menuju tercapainya cita-cita bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil dan makmur.
2. MBS dianggap berhasil apabila kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik. Karena layanan pendidikan tersebut berkualitas mengakibatkan prestasi akademik dan prestasi non akademik siswa juga meningkat.
3. Tingkat tinggal kelas menurun dan produktivitas sekolah semakin baik dalam arti rasio antara jumlah siswa yang mendaftar dengan jumlah siswa yang lulus menjadi lebih besar. Tingkat tinggal kelas menurun karena siswa semakin bersemangat untuk datang ke sekolah dan belajar di rumah dengan dukungan orang tua serta lingkungannya. Selain itu yang menunjang lainnya adalah peningkatan efesiensi dalam penggunaan berbagai sumber daya di sekolah.
4. Karena program-program sekolah dibuat bersama-sama dengan warga masyarakat dan tokoh masyarakat maka relevansi penyelenggaraan pendidikan semakin baik. Program yang diselenggarakan di sekolah baik kurikulum maupun sarana dan prasarana disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan lingkungan masyarakat.
5. Terjadinya keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan karena penentuan biaya pendidikan tidak dilakukan secara pukul rata, tetapi didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing keluarga.
6. Semakin meningkatnya keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah baik yang menyangkut keputusan intruksional maupun organisasional. Dengan demikian, orang tua siswa dan masyarakat akan semakin peduli dan rasa memiliki yang lebih besar pada sekolah. Bila hal ini telah terjadi maka masyarakat akan dengan sukarela menyumbangkan tenaga dan hartanya untuk sekolah.
7. Salah satu indikator penting lain kesuksesan MBS adalah semakin baiknya iklim dan budaya kerja sekolah. Iklim dan budaya kerja yang baik akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Selanjutnya sekolah akan berubah dan berkembang lebih baik. Setiap personil akan merasa aman dan nyaman dalam menjalankan tugasnya.
8. Kesejahteraan guru dan staf seolah membaik antara lain karena sumbangan pemikiran, tenaga dan dukungan dana dari masyarakat luas. Semakin profesional seorang guru dan staf sekolah maka masyarakat semakin berkeinginan untuk memberikan sumbangan dana lebih besar.
9. Apabila semua kemajuan pendidikan di atas telah tercapai maka dampak selanjutnya adalah akan terjadinya demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Indikator keberhasilan implementasi berupa tercapainya demokratisasi pendidikan diletakkan pada posisi terakhir karena sasaran ini jangka panjang dan paling jauh dari jangkauan.

Kementerian Pendidikan Nasional telah menyelesaikan standar pelayanan minimal pendidikan tingkat dasar, yakni sekolah dasar/MI dan SMP/MTs untuk mempersempit kesenjangan mutu pendidikan dan sosial ekonomi yang masih menonjol antara satu daerah dengan daerah lainnya."Standar pelayanan minimal (SPM) untuk jenjang pendidikan paling dasar, yakni SD/MI-SMP/MTs. Ini adalah tahapan paling minimal untuk mencapai sekolah bermutu. SPM pendidikan dasar adalah ketentuan minimal tentang apa yang harus tersedia dan apa yang harus terjadi di sekolah.
Usia kebijakan standar pelayanan minimal telah mencapai 8 tahun sejak dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian ditindak lanjuti dengan PP No. 25 tahun 2000 dan SE Mendagri No. 100/757/OTDA/2002 yang selanjutnya diteruskan dengan UU No. 32 tahun 2004 yang dioperasioalkan dengan PP No. 65 tahun 2005 dan Permendagri No. 6 tahun 2007, namun kebijakan tersebut belum mencapai hasil yang menggembirakan mengingat factor yang mempengaruhi. Salah satu factor yang dianggap sangat berpengaruh adalah belum lengkapnya konsep SPM disamping itu belum adanya kesamaan pemahaman antara perumus kebijakan di tingkat pusat dan pelaksana kebijakan di tingkat daerah.
Standar pelayanan minimal pendidikan adalah hal-hal yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan. Sekolah yang menerapkan MBS harus memiliki dan mengelola Standar pelayanan minimal pendidikan yang harus disesuaikan dengan keadaan sekolah dan siswa. Ada 8 standar pelayanan minimal yang harus ada dalam proses kegiatan belajar mengajar yaitu:
1. Standar isi, misalnya adanya KTSP, silabus, RPP, dan proses pembelajaran, penilaian pendidikan, buku, peralatan, dan media pembelajaran pada semua mata pelajaran yang bertujuan untuk pencapaian tujuan pembelajaran sesuai dengan rencana.
2. Standar proses, proses pembelajaran menggunakan PAKEM.
3. Standar tenaga pendidik, Guru wajib memiliki kompetensi terintegrasi yang tertampilkan dalam melakonkan pembelajaran yang mendidik, yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
4. Standar pengelolaan, antara lain pengelolaan keuangan, buku-buku pelajaran dan buku perpustakaan, administrasi guru, Kepala Sekolah dan administrasi sekolah juga harus dikelola dengan baik.
5. Standar pembiayaan, melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Dana Alokasi Khusus (DAK).
6. Sarana prasarana, melalui pengadaan buku teks pada program BOS dan pengadaan peralatan dan sarana prasarana melalui program DAK ( Dana Alokasi Khusus).
7. Standar peningkatan mutu, antara lain sumber daya manusia yang mencakup guru atau pendidik dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas sekolah), unsur sarana prasarana, seperti infrastruktur, peralatan, media, dan buku.
8. Standar administrasi, SPM pendidikan dasar dikembangkan sejalan dan berdasarkan pada Standar Nasional.
Misalnya adanya buku laporan keuangan, daftar nilai siswa,buku induk, surat yang masuk dan keluar dari sekolah.
























BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada dasarnya memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat sekolah (stakeholders) untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program sekolah sebaiknya-baiknya. Dalam pelaksanaannya, program MBS cukup bervariasi. Beberapa sekolah telah mengalami kemajuan cukup pesat, ada sekolah yang kinerjanya sedang-sedang saja, namun ada juga sekolah yang mengalami sejumlah kendala.
Pada hakikatnya muara penerapan MBS adalah untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan, baik menyangkut kualitas pembelajaran, kurikulum, sumber daya manusia maupun tenaga kependidikan lainnya, dan pelayanan pendidikan. Beberapa aspek yang dijadikan motif diterapkannya MBS di sekolah, adalah motif ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah.
Selanjutnya, tujuan diterapkannya MBS bermuara pada lebih leluasa dan berdayanya sekolah (otonomi atau mandiri) dalam mengelola sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efisien, serta mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan yang tepat secara partisipatif, transparan, dan akuntabel dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan MBS, sekolah mempunyai tanggung jawab yang besar dalam pengelolaan pendidikan dan pembelajaran di sekolah, sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing.

B. Saran
Dari kesimpulan tersebut penyusun memberi saran sebagai berikut :
1. Penerapan MBS disesuaikan dengan karakterisktik masing-masing sekolah.
2. Penerapan MBS harus dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
3. Menyusun visi dan misi sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan
4. Memiliki strategi manajemen
5. Adanya peran sekolah untuk mengembangkan siswa, guru dan sekolah menurut karkteristik sekolah itu sendiri
6. Memiliki SDM yang berkompeten.
Daftar Pustaka

http//mbs/implementasi-mbs-dalam-meningkatkan.html
http/manajemen berbasis sekolah (mbs) « kumpulan makalah & bantuan bahan makalah pendidikan.html
http//mbs/mbs.html

tugas MBS kelompok 2

Penerapan MBS di Indonesia
Abstrak
Telah banyak usaha peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar tetapi hasilnya tidak begitu menggembirakan. Dari berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan, hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
  1. Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan.
  2. Kedua, penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.
  3. Ketiga, peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas.
Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu dilakukan reorientasi penyelengaraan pendidikan melalui Manajemen Berbasisi Sekolah (School Based Management).
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota masyarakat dlm bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Batasan masalah :
  1. Apa itu Manajemen Sekolah
  2. Apa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)
  3. Apa manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
  4. Apa Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?
  5. Apa Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
  6. Apa karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
  7. Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses Pemberdayaan
1. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan (organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan (coordinating),
5. mengawasi (controlling), dan
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah
3. Manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS
)
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
BAB II
Pembahasan

Model MBS yang diterapkan di Kanada lebih dikenal dengan pendelegasian keuangan (financial delegation). Gerakan ke arah MBS dimulai di Edmonton Public School District, Alberta, dimana pendekatan yang digunakan dikenal sebagai “School-site decision-making”, yang telah menghasilkan desentralisasi alokasi sumber daya, baik tenaga pendidik dan kependidikan, perlengkapan, barang-barang keperluan sekolah. maupun layanan pendidikan. Langkah awal dimulai pertengahan tahun 1970 dengan tujuh sekolah rintisan, dan diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan manajemen-mandiri (self management) secara komprehensif pada tahun 1980-1981, yang pada akhirnya hingga saat ini telah dilembagakan.
Ciri model ini adalah tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Di tahun 1986, sekolah rintisan yang melibatkan 14 sekolah, memperluas pendekatan dengan melibatkan layanan konsultan pusat. Ciri penting di sini adalah model formula-alokasi-sumber daya. Sekolah menerima alokasi secara “lumpsum” ditambah suplemen yang menggambarkan biaya layanan konsultan yang secara historis pernah dilakukan, sesuai dengan tipe sekolah dan tingkat kebutuhan siswa. Alokasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam anggaran yang berbasis sekolah (school based budget). Standar biaya untuk berbagai tipe layanan (service) kemudian ditentukan. Tagihan pembayaran kepada sekolah pun sesuai dengan layanan yang dimintanya. Sekolah dapat memilih jenis layanan selain yang disediakan oleh daerah. Program pengefektifan guru juga diadakan tahun 1981. Pada tahun 1986-1987 program pengembangan profesional guru dengan pendanaan dari “school based budget” dilakukan setengah hari per minggu. Kegiatan ini menjangkau sebagian besar sekolah dan mencapai sekitar 50 % guru-guru. Dalam rangka menjamin akuntabilitas, proses monitoring dikembangkan. Para siswa pada tahun ke-3, 6, 9, dan 12, secara reguler diuji untuk semua bidang bidang pada kurikulum. Benchmark atau standar tingkat kemampuan atau prestasi yang dicapai, kemudian ditentukan, dan digunakan sesudah tahun 1987 sebagai dasar perbandingan prestasi siswa pada tahun berikutnya. Setiap tahun, survai pendapat dilakukan kepada siswa, guru, kepala sekolah, staf daerah, dan orang tua siswa yang memungkinkan dilakukannya pengklasifikasian tingkat kepuasan mereka dalam kaitan dengan peran-peran mereka.
Pada tahun 1994, Provinsi Alberta merencanakan untuk memulai restrukturisasi sistem secara keseluruhan. Restrukturisasi itu berkaitan dengan meng-undang-kan reformasi yang luas di bidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada Departemen Pendidikan yang lebih kecil, pengurangan jumlah “school district” secara drastis dari 140 menjadi 60, serta penyerahan sebagian besar kewenangan kepada tingkat sekolah. Ciri kunci reformasi ini terletak pada peningkatan keterlibatan orang tua, masyarakat, dan kalangan bisnis, dengan kewenangan untuk pengambilan keputusan dalam layanan pendidikan, termasuk penyediaan sumber daya, dan menentukan hasil yang akan dicapai. Pengenalan “Charter Schools” dengan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan, juga dituangkan di dalam perundangan yang baru.
Model MBS di Hongkong
lebih dikenal sebagai School Management Initiative (SMI), yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Model SMI menetapkan peran-peran mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah, terutama sponsor, “managers” dan kepala sekolah. Hal tersebut memberikan peluang yang lebih besar bagi guru, orang tua, dan alumni (former students) untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making), manajemen; mendorong perencanaan dan evaluasi kegiatan sekolah yang lebih sistematik, serta memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam hal pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Prinsip penyelenggaraan sekolah menekan-kan pada manajemen-bersama (joint management), serta mendorong partisipasi guru, orang tua, dan siswa dalam penyelenggaraan sekolah. Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu: (a) peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan; (b) peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah; (c) fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah; (d) partisipasi dalam pengambilan keputusan; serta (5) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas. Dengan adanya lima kebijakan SMI ini ialah untuk memecahkan beberapa masalah-masalah pendidikan, seperti: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan, menekankan pada kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai uang. Model SMI yang diterapkan di Hongkong ini didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti program remedial, dan bimbingan siswa. Kebijakan ini mengubah model manajemen yang sentralistik, serta memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan.
MBS di indonesia
Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, rintisan program MBS di SD dan MI telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Program ini menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkan. Manajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam peningkatan mutu pendidikan Indonesia dibantu oleh UNESCO, UNICEF, Pemerintah New Zealand, Australia dan Amerika Serikat untuk merintis program MBS. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki.
Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
Implementasi MBS
Pada sistem MBS sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. MBS juga merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi siswa. Hal ini juga berpotensi untuk meningkatkan kinerja staf, menawarkan partidipasi langsung kepada kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman kepada masyarakat terhadap pendidikan. Pengertian MBS “Suatu konsep yang menempatkan kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar “ Tujuan MBS Tujuan utama penerapan MBS pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah pelaksanaan proses dan pusat sehingga manajemen menjadi lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran di serahkan kepada unit yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu sekolah. Disamping itu untuk memberdayakan sekolah agar sekolah dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut. Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif.
Peningkatan kualitas pendidikan sangat menekankan pentingnya peranan sekolah sebagai
pelaku dasar utama yang otonom, dan peranan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan
pendidikan. Sekolah perlu diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri
sesuai dengan kondisi lingkungan dan dan kebutuhan pelanggan. Sekolah sebagai institusi otonom diberikan peluang untuk mengelolah dalam proses koordinasi untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Konsep pemikiran tersebut telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu yang berbasis sekolah. Pendekatan inilah yang dikenal dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Karakteristik MBS di tingkat sekolah secara keseluruhan memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pendidikan, baik dari segi kekuasaan sekolah mengatur secara keseluruhan strategi apa yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan.
Prinsip good governance.
·           Partisipasi guru secara profesional dalam kerangka pengembangan MBS perlu memiliki kompetensi antara lain kompetensi kepribadian (integritas, moral, etika dan etos kerja), kompetensi akademik (sertifikasi kependidikan, menguasai bidang tugasnya) dan kompetensi kinerja (terampil dalam pengelolaan pembelajaran, karena tanggungjawab pokok pembentukan moral maupun intelektual dalam sekolah terletak pada para guru.
Peran orang tua dan masyarakat juga tak kalah pentingnya, bukan hanya dari segi finansial saja akan tetapi juga dengan mengontrol siswa atau siswi dalam pembelajaran dirumah, menjaga dan menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol sosial di sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat dengan jalan menjadi penggerak, informan dan penghubung, koordinator dan pengusul.
·           Transparansi MBS dimaksudkan agar orang tua dan masyarakat mengerti semua dari segi strategi pembelajaran dan anggaran biaya secara terbuka dan tidak ada yang disembunyikan agar tujuan pendidikan dapat  tercapai.
·           Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal membuat persiapan, melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping them make progress in their learning.
Ilustrasi penerapan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pembelajarannya di kelas.
Dalam pembelajaran dikelas pendidik harus mampu menguasai suasana pembelajaran, seluruh peserta didik tidak boleh ada satu pun yang terabaikan, partisipasi antar seluruh komponen kelas yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Transparansi guru menceritakan keadaan kelas dan sekolah mengenai kekurangan maupun kelebihan agar peserta didik termotivasi untuk ikut memperbaiki keadaan kelas, contoh, berpartisipasi aktif dan menjuarai lomba yang diadakan baik di tingkat sekolah maupun keluar sekolah.
Akunitabilitas didalam kelas guru harus mampu menyiapkan dan menguasai materi bahan ajar sehingga penerapan dalam pembelajaran menjadi maksimal dan pada akhirnya standar kompetensi bisa tercapai. Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, guru harus bisa menjadi suritauladan yang baik seperti membuang sampah tidak sembarangan.

Kesimpulan.
Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini berarti secara interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang berbeda, bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi berat relatifnya.
Pertanyaan mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional, dan lokal atau antara sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru, kita perlu bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya ?. (Bentley & Wilsdon, 2004).
Secara sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.
Saran
Pada dasarnya manajemen berbasis sekolah dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekwensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah. Pada kurikulum 2004 yang akan diberlakukan, pusat hanya akan menetapkan kompetensi-kompetensi lulusan dan materi-materi minimal. Daerah diberi keleluasaan untuk mengembangkan silabus (GBPP) nya yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam silabus sangat erat dengan program-program pembangunan daerah. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian. Studi yang dilakukan di El Savador, Meksiko, Nepal, dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Tetapi desentralisasi pengelolaan guru tidak secara otomatis meningkatkan efesiensi operasional. Jika pengelola di tingkat daerah tidak memberikan dukungannya, pengelolaan semakin tidak efektif. Oleh karena itu, beberapa negara telah kembali ke sistem sentralisasi dalam hal pengelolaan ketenagaan, misalnya Kolombia, Meksiko, Nigeria, dan Zimbabwe.
Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselengaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan adanya kurikulum lokal. Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan kebudayaan nasional.
Proses belajar mengajar menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat pemersatu bangsa.

Tim penyusun :
1. Trendy Setiawan                 292008197
2. Tri Wahyu Marisa               292008193
3. Efan Khairul Ammar          292008088
4. Andy Aryono                      292008078
5. Sudiyarto E Nugroho          292008014
6. Rindha Fitria PS                 292008006