Rabu, 13 Oktober 2010

Tugas MBS kelompok 1

IMPLIKASI PENERAPAN MBS DI INDONESIA

Oleh :

1.         Achmad Nurul Mubin                    (292008018)
2.         Yuliningsih                                     (292008067)
3.         Yanita Purnamaningtyas                 (292008083)
4.         Danung Listiyanto                          (292008121)
5.         Citra Erfina Agustin                       (292008156)
6.         Palupi Sekar Puty                           (292008173)



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Mutu pendidikan adalah karakteristik menyeluruh dari setiap komponen pendidikan yang menunjukkan kemampuan memuaskan kepada warga sekolah, masyarakat, dinas pendidikan, pemerintah, dan pihak lain yang terkait dengan pendidikan di daerah tersebut. Mutu pendidikan di Indonesia pada setiap jenjang dan satuan pendidikan terutama pendidikan dasar dan menengah merupakan salah satu komponen utama dalam bidang pendidikan yang dialami oleh bangsa. Banyak penelitian yang menunjukan belum adanya mutu yang signifikan di sekolah. Sebagian sekolah di kota-kota menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang memuaskan, namun sebagian yang lainnya (di daerah-daerah terpencil) masih memprihatinkan. Faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain kurang meratanya pengelolaan kuantitas dan kulitas pendidikan di Indonesia yang meliputi guru kurang berkompeten dalam pemberian materi pembelajaran, kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung proses pembelajaran, kepala sekolah yang kurang profesional dalam tugas, kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam pengembangan sekolah.

Maka dari itu, dengan adanya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang dicanangkan oleh pemerintah dapat memberikan otoritas kepada sekolah dan pihak terkait sebagai stake holder (semua yang terlibat dalam pengelolaan sekolah) untuk mengembangkan, mengelola, mengontrol, memutuskan kebijakan demi kemajuan sekolah dengan sinergi team work dalam pelaksanaan MBS.

B. Permasalahan

Secara teoritis, MBS merupakan sistem pengelolaan persekolahan yang memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada institusi sekolah untuk mengatur kehidupan sekolah  sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan sekolah yangbersangkutan. Dalam MBS, sekolah merupakan institusi yang memiliki “full authority and responsibility” untuk secara mandiri menetapkan program-program pendidikan (kurikulum) dan berbagai kebijakan lokal sekolah sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh sekolah (Mohrman and Wohlsettter, 1994; Calwell and Spinks, 1988). Berdasarkan visi, misi, dan tujuan pendidikan tersebut, sekolah menetapkan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan dengan memanfaatkanberbagai potensi yang tersedia dan dapat digali di sekolah dan masyarakat sekitar sekolah. Dalam pembahasan ini akan dipaparkan bagaimana penerapan MBS di Indonesia dengan melihat pelaksanaan MBS di negara lain.


BAB II
PEMBAHASAN

Penerapan MBS di suatu negara pasti tidak terlepas dari perkembangan pendidikan dan upaya-upaya perbaikan mutu pendidikan di negara tersebut. Sejak tahun 60-an dan 70-an banyak sekali inovasi yang telah dilakukan. Misalnya, pengenalan kurikulum baru untuk memperbaiki mutu pendidikan dan pendekatan-pendekatan baru (metode baru) dalam proses pembelajaran, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Baru ketika tahun 80-an, saat terjadi perkembangan manajemen dalam dunia industri dan organisasi komersial mencapai sukses, orang mulai percaya bahwa untuk memperbaiki mutu pendidikan, perlu ada lompatan dari tataran pengajaran di dalam kelas ke tataran organisasi. Perubahan itu dilakukan di dalam struktur dan gaya manajemen sekolah (Cheng, 1996).

A.      MBS di beberapa negara

Selanjutnya, bagaimana sejarah MBS di berbagai negara, marilah kita simak sajian berikut ini. Sajian ini bersumber dari paparan Abu-Duhou, I (1999:37-55), dan sumber lain.


Model MBS yang diterapkan di Kanada lebih dikenal dengan pendelegasian keuangan (financial delegation). Gerakan ke arah MBS dimulai di Edmonton Public School District, Alberta, dimana pendekatan yang digunakan dikenal sebagai “School-site decision-making”, yang telah menghasilkan desentralisasi alokasi sumber daya, baik tenaga pendidik dan kependidikan, perlengkapan, barang-barang keperluan sekolah. maupun layanan pendidikan. Langkah awal dimulai pertengahan tahun 1970 dengan tujuh sekolah rintisan, dan diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan manajemen-mandiri (self management) secara komprehensif pada tahun 1980-1981, yang pada akhirnya hingga saat ini telah dilembagakan.
Ciri model ini adalah tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Di tahun 1986, sekolah rintisan yang melibatkan 14 sekolah, memperluas pendekatan dengan melibatkan layanan konsultan pusat. Ciri penting di sini adalah model formula-alokasi-sumber daya. Sekolah menerima alokasi secara “lumpsum” ditambah suplemen yang menggambarkan biaya layanan konsultan yang secara historis pernah dilakukan, sesuai dengan tipe sekolah dan tingkat kebutuhan siswa. Alokasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam anggaran yang berbasis sekolah (school based budget). Standar biaya untuk berbagai tipe layanan (service) kemudian ditentukan. Tagihan pembayaran kepada sekolah pun sesuai dengan layanan yang dimintanya. Sekolah dapat memilih jenis layanan selain yang disediakan oleh daerah. Program pengefektifan guru juga diadakan tahun 1981. Pada tahun 1986-1987 program pengembangan profesional guru dengan pendanaan dari “school based budget” dilakukan setengah hari per minggu. Kegiatan ini menjangkau sebagian besar sekolah dan mencapai sekitar 50 % guru-guru.
Dalam rangka menjamin akuntabilitas, proses monitoring dikembangkan. Para siswa pada tahun ke-3, 6, 9, dan 12, secara reguler diuji untuk semua bidang bidang pada kurikulum. Benchmark atau standar tingkat kemampuan atau prestasi yang dicapai, kemudian ditentukan, dan digunakan sesudah tahun 1987 sebagai dasar perbandingan prestasi siswa pada tahun berikutnya. Setiap tahun, survai pendapat dilakukan kepada siswa, guru, kepala sekolah, staf daerah, dan orang tua siswa yang memungkinkan dilakukannya pengklasifikasian tingkat kepuasan mereka dalam kaitan dengan peran-peran mereka.
Pada tahun 1994, Provinsi Alberta merencanakan untuk memulai restrukturisasi sistem secara keseluruhan. Restrukturisasi itu berkaitan dengan meng-undang-kan reformasi yang luas di bidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada Departemen Pendidikan yang lebih kecil, pengurangan jumlah “school district” secara drastis dari 140 menjadi 60, serta penyerahan sebagian besar
kewenangan kepada tingkat sekolah. Ciri kunci reformasi ini terletak pada peningkatan keterlibatan orang tua, masyarakat, dan kalangan bisnis, dengan kewenangan untuk pengambilan keputusan dalam layanan pendidikan, termasuk penyediaan sumber daya, dan menentukan hasil yang akan dicapai. Pengenalan “Charter Schools” dengan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan, juga dituangkan di dalam perundangan yang baru.
Model MBS di Hongkong lebih dikenal sebagai School Management Initiative (SMI), yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Lahirnya kebijakan SMI ini ialah untuk memecahkan beberapa masalah-masalah pendidikan, seperti: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan, menekankan pada kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai uang. Cheng (1996: 44) menyatakan bahwa munculnya model SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti program remedial, bimbingan siswa, dan beberapa penataran dalam-jabatan (inservice training). Kebijakan ini mengubah model manajemen yang sentralistik, serta memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan.
Model SMI menetapkan peran-peran mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah, terutama sponsor, “managers” dan kepala sekolah. Hal tersebut memberikan peluang yang lebih besar bagi guru, orang tua, dan alumni (former students) untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making), manajemen; mendorong perencanaan dan evaluasi kegiatan sekolah yang lebih sistematik, serta memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam hal pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Prinsip penyelenggaraan sekolah menekan-kan pada manajemen-bersama (joint management), serta mendorong partisipasi guru, orang tua, dan siswa dalam penyelenggaraan sekolah. Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu: (a) peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan; (b) peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah; (c) fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah; (d) partisipasi dalam pengambilan keputusan; serta (5) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas.
Kerangka acuan akuntabilitas tersebut mencatat dua hal penting, yaitu tingkatan individual dan tingkatan sekolah secara menyeluruh. Pertama, sistem pelaporan atau penilaian direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan kepada dewan manajemen sekolah, serta memperhatikan penilaian yang dimiliki oleh Departemen Pendidikan, sebagai langkah awal. Kedua, akuntabilitas sekolah sebagai suatu keseluruhan. Setiap sekolah perlu membuat rencana tahunan sekolah, menetapkan tujuan dan kegiatan yang ingin dicapai pada tahun yang akan datang, serta mempertanggungjawabkannya. Perencanaan sekolah yang dibuat, memungkinkan sekolah untuk menentukan prioritas, membuat alokasi anggaran, dan mengkomunikasikan arah dan tujuan kepada masyarakat. Sekolah juga diminta untuk membuat profil sekolah tahunan yang memuat kegiatan pada tahun sebelumnya – yang digunakan untuk memetakan pencapaian pada sejumlah indikator seperti prestasi belajar siswa pada mata pelajaran utama, kegiatan non-akademis, profil tenaga kependidikan dengan memberikan gambaran tentang pergantian staf, kualifikasi, dan kompetensinya.

Bagaimana dengan model MBS di Indonesia? Pada dasarnya, esensi MBS bukanlah sesuatu yang baru sama sekali di Indonesia. Meskipun belum menggunakan istilah MBS, sekolah atau madrasah yang sistem pengelolaannya dilakukan oleh swasta, baik yayasan, pesantren, badan hukum dan sebagainya, telah menerapkan prinsip-prinsip MBS tersebut. Formalisasi MBS dimaksudkan untuk lebih menekankan pada persoalan yang lebih mendasar dan mendalam tentang bagaimana implementasi MBS yang lebih tepat di sekolah.
Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, rintisan program MBS di SD dan MI telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Program ini menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkannmanajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Pada tahun 1999 dengan bekerjasama serta bantuan dari UNESCO dan UNICEF, program MBS telah dirintis di 124 SD/MI, yang tersebar di 7 kabupaten pada propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Magelang, Banyumas, dan Wonosobo), Jawa Timur (Kabupaten Probolinggo), Sulawesi Selatan (Kabupaten Bontang), dan Nusa Tenggara Timur (Kota Kupang)..
Selanjutnya, pada tahun 2002, pemerintah New Zealand membantu pendanaan untuk memantapkan dan menyebarkan program tersebut di tujuh kabupaten/kota rintisan serta untuk mendiseminasikan program ke tujuh kabupaten lainnya di Indonesia Timur, termasuk Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Jumlah SD/MI berkembang menjadi 741 SD/MI. Diseminasi program oleh Unicef di sejumlah kabupaten di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank. Beberapa bantuan juga diberikan oleh lembaga bantuan Australia (AusAID), sehingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang ke 40 kabupaten di 9 propinsi dengan 1479 SD/MI.
Replikasi program juga telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat (Depdiknas) di 30 propinsi di Indonesia di bawah lambang “MBS”. Juga, USAID – lembaga bantuan dari pemerintah Amerika Serikat juga telah mengembangkan program MBS sejenis di Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu Managing Basic Education (MBE), serta pada tahun 2004 model MBS juga dilaksanakan di tiga kabupaten Jawa Timur dengan dukungan Indonesia – Australia Partnership in Basic Education (IAPBE). Mulai tahun 2005, USAID juga memberikan bantuan untuk model MBS ini di 7 propinsi di Indonesia melalui program Decentralized Basic Education (DBE).
Usaha-usaha implementasi MBS di Indonesia terus dilakukan dalam kerangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Menurut Nurcholis (2003:108), sekolah yang menerapkan MBS mempunyai sejumlah ciri, yaitu memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, bersifat adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya dan kondisi kerja, mempunyai komitmen ang tinggi pada dirinya, menjadikan prestasi sebagai acuan dalam penilaian, memiliki kemampuan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, serta meningkatnya kualitas proses pembelajaran.
Sedangkan pelaksanaan MBS di Amerika serikat dikenal dengan Site-based management, Site-based management dilatarbelakangi oleh munculnya pertanyaan diseputar relevansi dan korelasi hasil pendidikan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Maksudnya kinerja sekolah-sekolah di AS tidak sesuai dengan tuntutan yang diperlukan siswa untuk terjun di dunia kerja. Indikasinya adalah prestasi siswa untuk mata pelajaran matematika dan IPA tidak memuaskan. Oleh karena itu, MBS di Amerika Serikat sedikit diperbaharui, kemudian Reynolds (1997) menyarankan perlunya restrukturisasi sekolah yang mencakup 4 area utama, yaitu:

a. Bagaimana cara memandang siswa dan pembelajaran?
     b. Bagaimana cara mendefinisikan program pengajaran dan pelayanan yang diberikan?
c. Bagaimana cara mengorganisasi dan menyampaikan program dan pelayanan?
d. Bagaimana cara mengelola sekolah?

Jadi semua keputusan untuk memajukan sekolah dipegang oleh kepala sekolah, dan yang berwenang adalah kepala sekolah.

B.       MBS di Indonesia

Ada 8 motif diterapkannya MBS di Indonesia yaitu: motif ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah.
Dari 8 motiv tersebut, motiv terakhirlah yang  yang paling penting. Efektifitas sekolah, sebab  :
-      Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
-      Sekolah lebih mengetahui kebutuhannya.
-      Keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat menciptakan transparasi dan demokrasi yang sehat

Adapun tujuan implementasi MBS adalah :
-     Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibelitas, patisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas dan inisiatif sekolah.
-     Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggraan pendidikan melalui pengambilan keputusan secara bersama.
-     Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan mutu sekolah.
-     Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan (Direktorat SLTP, Ditjen Dikdasmen Depdiknas, 2002).)hadiyanto, 2004 : 71).
Kendala pelaksanaan MBS di Indonesia,  fakta menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia rendah. Rendahnya kualitas pendidikan ini ditandai dengan adanya beberapa indikator, seperti pelajar dan mahasiswa Indonesia tidak dapat bersaing di taraf internasional, tidak sanggup berkompetisi dalam merebut pasaran kerja nasional ataupun internasional dan yang paling parah lagi lulusan pendidikan kita tidak dapat membentuk manusia yang bertanggungjawab.
Dengan munculnya desakan dan kritikan dari masyarakat luas memaksa pemegang otoritas pendidikan (penguasa dan birokrat) untuk mereformasi dirinya sendiri. Sebagaimana dunia pendidikan dewasa ini memakai caranya dengan pilihan model MBS.
Seiring dengan upaya reformasi di bidang pendidikan tersebut, secara nasional juga sedang diupayakan reformasi system administrasi yang dikenal dengan system pemerintahan daerah melelui UU No. 22 tahun 1999. namun sebenarnya landasan hokum MBS bukanlah UU tersebut, karena desentralisasi berdasar UU itu hanya sampai pada tingkat pemerintah kabupaten atau kota. Sementara itu desentralisasi pendidikan model MBS langsung ke tingkat sekolah.
Munculnya UU No. 22 tahun 1999 tersebut membawa dampak yang positif ataupun negative. Pertama, dampak positif akan terjadi apabila walikota atau bupati kemudian mengerti desentralisasi model MBS ini sehingga bersedia melimpahkan kekuasaan dan kewenangannya kepada sekolah secara langsung. Dengan demikian birokrasi penyelenggara pendidikan akan semakin pendek, yaitu sekolah dengan kabupaten atau kota saja, bukan dengan pemerintah pusat.
Kedua, dampak negatifnya akan terjadi apabila bupati atau walikota menggunakan aji mumpung atas kekuasaannya dalam bidang pendidikan sehingga ingin menguasai sepenuhnya penyelenggaraan pendidikan di daerah tersebut. Apabila hal itu terjadi maka penyelenggaraan dan pengaturan pendidikan akan dikendalikan pada tingkat kabupaten atau kota. Bila demikian maka MBS tidakakan dapat berjalan secara efektif karena sekolah-sekolah tidak akan memiliki kekuasaan dan wewenang dalam mengatur dirinya sendiri.
Apabila para penguasa dan birokrat enggan untuk melakukan reformasi sistematik ini maka MBS tidak dapat berhasil dengan baik. Menurut Bacharach (1990) reformasi terdiri dari empat bagian. Pertama, akar reformasi adalah cara hidup masyarakatnya. Bila kita cermati maka cara hidup masyarakat tradisional kita yang sejak zaman nenek moyang memiliki cara hidup bergotong royong, implementasi MBS ini akan mendapatkan dukungan besar. Hanya saja gaya hidup masyarakat kota yang mulai memiliki cara hidup individual harus mulai dibangun kembali rasa kebersamaan dan gotong royong.
Artinya implementasi MBS bukan hanya dapat meningkatkan kualitas pendidikan, melainkan justru dapat menjadi alat pemersatu bangsa, mempererat persaudaraan dan kesatuan bangsa. Hubungan guru, orang tua siswa dan masyarakat luas akan menjadi semakin erat, bersahabat dan hangat. Selanjutnya MBS memiliki potensi yang besar untuk mengurangi konflik social yang belakangan ini kian memanas di masyarakat kita.
Kedua, batang reformasi adalah mandat dari pemerintah, yaitu adanya otonomi di tiap sekolah dengan mengacu pada struktur, tujuan dan akuntabilitas. Mandatnya sudah jelas, yaitu melalui UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004 bahwa sekolah harus memiliki otonomi pengelolaan pendidikan. Tujuan reformasi model MBS yaitu untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Penetapan struktur dan akuntabilitas pendidikan itulah yang menjadi tugas dewan sekolah di tingkat paling bawah dengan dewan pendidikan di tingkat kabupaten atau kota. Sebaiknya penetapan struktur dan akuntabilitas tidak dilakukan satu pihak oleh pemerintah, tetapi bersama-sama dengan sekolah dan masyarakat. Metode pelibatan partisipan ini telah diakui di berbagai praktik pengabilan keputusan akan menjadi efektif karena adanya rasa tanggung jawab dan rasa memiliki diantara mereka yang terlibat.
Ketiga, cabang reformasi adalah pemberdayaan dan peningkatan profesionalisme guru dan staf sekolah. Itulah yang dimaksud Mohrman dkk. bahwa desentralisasi model MBS ini harus mendesentralisasikan pengetahuan dan ketrampilan kepada setiap personel yang berada di sekolah.
Keempat, daun reformasi adalah partisipasi orang tua siswa dan partisipasi masyarakat luas. Apapun model MBS yang dipakai, partisipasi masyarakat dan orang tua siswa adalah suatu keharusan. Bagian ini masih amat lemah sehingga orang tua dan masyarakat harus terus didorong agar makin peduli terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan.

pemecahan masalah atau faktor Pendukung Kesuksesan Implementasi MBS
Pertama, faktor terpenting dari kesuksesan implementasi MBS adalah political will pemerintah. Bila dicermati dukungan pemerintah dari sisi ini ada bahkan dituangkan secara resmi dalam perundang-undangan.
Kedua, dukungan finansial dari pemerintah dan masyarakat yang peduli pendidikan belum tampak. Justru yang tampak adalah dukungan dana dari berbagai lembaga donor internasional dan negara tetangga, diantaranya berasal dari Unesco, ADB, IDB.
Ketiga, ketersediaan sumber daya manusia yang mendukung implementasi MBS ini juga belum banyak. Hal ini dialami oleh sebuah organisasi internasional yang akan memfasilitasi penerapan MBS di Indonesia, pada saat mencari tenaga ahli dan tenaga pelaksana hingga batas akhir pemasukan lamaran hanya sedikit sekali yang memenuhi syarat. Kondisi ini dapat dimengerti karena bidang dan kajian ini masih amat sangat baru di Indonesia. Bahkan di kalangan akademisi pun belum banyak pakar di bidang ini.
Keempat, budaya sekolah rata-rata belum bisa mendukung kesuksesan implementasi MBS. Budaya sekolah belum dibangun secara baik berdasar keyakinan seluruh warga sekolah, melainkan dibentuk oleh keinginan para pimpinan bahkan keinginan birokrasi. Oleh karena itu, banyak warga sekolah yang tak peduli terhadap kemajuan sekolah.
Kelima, terkait dengan upaya pembentukan budaya sekolah yang kuat dan baik maka sekolah harus memiliki kepemimpinan yang efektif. Hal ini akan tercapai apabila kepala sekolah memiliki kemampuan profesinal di bidangnya, memiliki bakat atau sifat, memahami kondisi lingkungan dan pengikutnya dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang paling sesuai. Sebaiknya kepala sekolah menerapkan pendekatan partisipatif model transformasional.
Keenam, bila demikian maka sekolah sebagai organisasi harus diubah dan dikembangkan. Perubahan sekolah akan berjalan dengan baik apabila berdampak pada perbaikan kehidupan para guru dan staf lainnya. Perubahan dan pengembangan harus diawali dari perubahan individu dan linngkungan kerja secara bertahap dan sistematis.

Karakteristik MBS
MBS adalah bentuk reformasi pendidikan dimana pada prinsipnya sekolah memperoleh kewajiban,wewenang,dan tanggung jawab dalam meningkatkan kinerja sekolah.Oleh sebab itu MBS menyediakan layanan pendidikan yang menyeluruh dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat sekolah.
Prinsip pemerataan dan keadilan untuk memperoleh kesempatan pendidikan,efisiensi,dan mutu pembelajaran merupakan karakteristik utama MBS yang dimiliki oleh pendekatan ini. Dalam kaitan ini persyaratan utama yang diperlukan adalah :
1.              Adanya kebutuhan untuk berubah
2.              Adanya restrukturisasi organisasi
3.              Proses perubahan sebagai proses belajar
4.              Adanya budaya professional di sekolah.



Dalam pelaksanaan MBS ada beberapa hal yang mensyaratkan harus adanya prinsip sebagai berikut :
a. Partisipasi
Partisipasi berarti memberikan kesempatan warga sekolah dan masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Ilustrasi penerapannya antara lain setiap 2 bulan sekali di sekolah diadakan rapat yang dihadiri oleh komite sekolah, kepala sekolah, guru, karyawan, orang tua murid atau wali murid jika merupakan suatu yayasan dapat juga ketua yayasan untuk memantau perkembangan sekolah serta evaluasi pendidikan serta memberikan solusi-solusi dalam setiap masalah yang dimiliki oleh sekolah.
b. Transparansi
Yang dimaksud dengan transparansi adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriah kebersamaan untuk meningkatkan mutu sekolah.
Ilustrasi penerapannya antara lain orang tua murid mendapatkan hak untuk mengakses nilai anak mereka melalui sebuah web sekolah atau mendapatkan laporan nilai siswa dari guru kelasnya. Selain itu, orang tua murid mendapatkan transparansi keuangan setiap pembayaran SPP.
c. Akuntabilitas
Akuntabilitas berarti pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat, dan pemerintah, melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Akuntabilitas tidak terlepas dari delapan standar nasional pendidikan, yaitu :
- Standar isi
- Standar proses
- Standar kompetensi lulusan
- Standar pendidikan dan tenaga kependidikan
- Standar sarana dan prasarana
- Standar pengeloolaan
- Standar pembiayaan
- Standar penilaian pendidikan
Ilustrasi penerapannya antara lain setelah pembelajaran berlangsung selama 1 tahun atau 2 semester, kepala sekolah mengadakan rapat terbuka bersama warga sekolah, masyarakat, dan pemerintah mengenai hasil lulusan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan standar penilaian sekolah.
Contoh penerapan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.
a. Prinsip Partisipasi
Dalam pembelajaran dikelas siswa harus aktif. Aktif bertanya, mencari materi sendiri dan berpartisipasif dalam proses belajar. Jadi, guru tidak selalu menggunakan metode ceramah. Siswa aktif dan guru pasif.
b. Prinsip Transparansi
Dalam pembelajaran dikelas guru adil dan transparan dalam memberikan nilai. Tidak memandang dari segi apapun kecuali dari potensi kemampuan siswa yang dimiliki. Selain itu guru harus membuat silabus yang benar sebagai bukti yang nyata untuk proses pembelajaran.
c. Prinsip Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam belajar dapat diwujudkan dikelas dengan cara guru menyelesaikan tanggungjawabnya sebagai guru. Harus mengajar sesuai jadwal dan kalender akademik. Menyelesaikan bahan ajar sesuai kurikulum. Sedang siswa bertanggungjawab atas semua dari hasil yang diperoleh, yaitu dalam bentuk prestasi dan nilai-nilai yang bagus.

Berdasarkan latar belakangnya, MBS di Indonesia muncul karena fakta menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia rendah. Rendahnya kualitas pendidikan ini ditandai dengan adanya beberapa indicator, seperti pelajar dan mahasiswa Indonesia tidak dapat bersaing di taraf internasional, tidak sanggup berkompetisi dalam merebut pasaran kerja nasional ataupun internasional dan yang paling parah lagi lulusan pendidikan kita tidak dapat membentuk manusia yang bertanggungjawab. Dengan munculnya desakan dan kritikan dari masyarakat luas memaksa pemegang otoritas pendidikan untuk mereformasi dirinya sendiri. Sebagaimana dunia pendidikan dewasa ini memakai caranya dengan pilihan model MBS.
Teori yang Mendasari MBS
Pertama, prinsip ekuifinalitas menjadi landasan yang harus dimiliki oleh para pelaksana MBS di sekolah ataupun otoritas pendidikan diatasnya. Artinya setiap personel yang terkait dengan pengambilan keputusan sekolah harus memiliki perspektif yang luas dan setiap permasalahan dapat didekati dari berbagai cara yang berlainan. Tidak ada cara tunggal terbaik untuk memecahkan setiap masalah yang muncul di sekolah dapat diselesaikan dengan berbagai cara. 
Kedua, prinsip desentralisasi memandang bahwa masalah yang muncul di sekolah akan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya apabila penyelesaiannya diserahkan kepada pihak yang paling dekat dengan keberadaan masalah tersebut. Dalam menyelesaikan masalah pendidikan di sekolah, yang paling tahu adalah warga sekolah itu sendiri terutama guru, staf, kepala sekolah dan orang tua siswa. Sebagaimana Mohrman dkk bahwa otonomi secara luas menyangkut empat komponen penting yaitu kekuasaan atau kewengan, pengetahuan dan ketrampilan, informasi dan penghargaan.
Ketiga, prinsip sistem pengelolaan mandiri. Desentralisasi dalam kekuasaan, pengetahuan dan ketrampilan, informasi dan penghargaan akan terlaksana bila sekolah diberi keleluasaan dalam pengelolaan sekolahnya secara mandiri. Hal terpenting agar sekolah dapat melakukan pengelolaan mandiri apabila para guru dan staf memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Di Indonesia sistem pengelolaan mandiri ini belum dimiliki karena banyak guru dan kepala sekolah yang belum memenuhi syarat untuk menjalankan pekerjaannya.
Keempat, prinsip inisiatif sumber daya manusia. MBS akan berhasil dengan baik apabila warga sekolah memiliki inisiatif dalam menjalankan pekerjannya dan inisiatif setiap individu dihargai. Yang menjadi masalah di Indonesia adalah kurangnya inisiatif dari warga sekolah karena tidak adanya rasa memiliki terhadap sekolah tersebut. 
Berdasarkan beberapa analisis SWOT dari beberapa pakar tampak sekali bahwa kekuatan yang dimiliki sekolah untuk menerapkan MBS masih amat lemah, sementara itu sekolah memiliki peluang yang amat besar dalam menerapkan MBS. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meminimalisasi kelemahan dan menahan ancaman dari luar sekolah sehingga MBS dapat diterapkan dengan mulus. Jadi secara empiris dapat disimpulkan bahwa penerapan MBS bukan pekerjaan mudah, melainkan memerlukan biaya, tenaga, waktu dan usaha yang besar dan perlu adanya dukungan berbagai pihak.

Ukuran Keberhasilan MBS
Secara teoritis dan aplikasi praksis, sebagaimana dikemukakan Reynolds (1997) bahwa dalam konteks MBS, keberhasilan pendidikan harus didefinisikan ulang, bukan semata-mata pada ukuran standar prestasi siswa. Keberhasilan harus berada dalam konsep yang lebih luas, diantaranya mencakup hal sebagai berikut : pola ketrampilan berfikir yang lebih baik, pemahaman dan penghargaan pada multi budaya, menurunnya tingkat putus sekolah (drop out), pelayanan kepada masyarakat, terbukanya berbagai pilihan (mata pelajaran), partisipasi di dalam kelas matematika dan IPA yang lebih tinggi, pilihan dan kesuksesan pasca pendidikan menengah, dimilikinya konsep pribadi siswa dan kreativitas serta keindahan dalam seni. Namun, apa pun kriteria keberhasilan tersebut, pencapaiannya tergantung pada kualitas program pendidikan dan pelayanan yang diberikan. Karena itu, ukuran keberhasilan implementasi MBS di Indonesia dapat dinilai setidaknya dari beberapa kriteria di bawah ini :
Pertama, MBS dianggap berhasil apabila jumlah siswa yang mendapat layanan pendidikan semaikin meningkat. Masalah siswa yang tidak bisa mendaftar sekolah karena masalah ekonomi akan dipecahkan secara bersama-sama oelh warga sekolah melalui subsidi silang dari mereka yang ekonominya lebih mampu.
Keberhasilan MBS harus dilihat kemampuannya dalam menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan bagi sebagian rakyat Indonesia masih terbatas pada tingkat sekolah dasar sebagai hasil dari program Inpres SD yang dilaksanakan sejak tahun 1974.
Ketidak merataan memperoleh kesempatan pendidikan terutama terjadi pada kelompok-kelompok : (a) masyarakat pedesaan dan atau masyarakat terpencil, (b) keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan budaya, (c) wanita, dan (d) penyandang cacat. Persoalan itu berakibat lebih lanjut pada ketimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Semua persoalan itu pada gilirannya dapat menghambat pembanunan nasional menuju tercapainya cita-cita bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil dan makmur.
Kedua, MBS dianggap berhasil apabila kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik. Karena layanan pendidikan tersebut berkualitas mengakibatkan prestasi akademik dan prestasi non akademik siswa juga meningkat. 
Ketiga, tingkat tinggal kelas menurun dan produktivitas sekolah semakin baik dalam arti rasio antara jumlah siswa yang mendaftar dengan jumlah siswa yang lulus menjadi lebih besar. Tingkat tinggal kelas menurun karena siswa semakin bersemangat untuk datang ke sekolah dan belajar di rumah dengan dukungan orang tua serta lingkungannya. Selain itu yang menunjang lainnya adalah peningkatan efesiensi dalam penggunaan berbagai sumber daya di sekolah.
Keempat, karena program-program sekolah dibuat bersama-sama dengan warga masyarakat dan tokoh masyarakat maka relevansi penyelenggaraan pendidikan semakin baik. Program yang diselenggarakan di sekolah baik kurikulum maupun sarana dan prasarana disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan lingkungan masyarakat.
Kelima, terjadinya keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan karena penentuan biaya pendidikan tidak dilakukan secara pukul rata, tetapi didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. 
Keenam, semakin meningkatnya keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah baik yang menyangkut keputusan intruksional maupun organisasional. Dengan demikian, orang tua siswa dan masyarakat akan semakin peduli dan rasa memiliki yang lebih besar pada sekolah. Bila hal ini telah terjadi maka masyarakat akan dengan sukarela menyumbangkan tenaga dan hartanya untuk sekolah.
Ketujuh, salah satu indikator penting lain kesuksesan MBS adalah semakin baiknya iklim dan budaya kerja sekolah. Iklim dan budaya kerja yang baik akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Selanjutnya sekolah akan berubah dan berkembang lebih baik. Setiap personil akan merasa aman dan nyaman dalam menjalankan tugasnya.
Kedelapan, kesejahteraan guru dan staf seolah membaik antara lain karena sumbangan pemikiran, tenaga dan dukungan dana dari masyarakat luas. Semakin profesional seorang guru dan staf sekolah maka masyarakat semakin berkeinginan untuk memberikan sumbangan dana lebih besar.
Kesembilan, apabila semua kemajuan pendidikan di atas telah tercapai maka dampak selanjutnya adalah akan terjadinya demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Indikator keberhasilan implementasi berupa tercapainya demokratisasi pendidikan diletakkan pada posisi terakhir karena sasaran ini jangka panjang dan paling jauh dari jangkauan.
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi MBS yaitu meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah.

Kaitan SPM (Standar Penilaian Minimal) dengan MBS yaitu SPM digunakan sebagai alat ukur parameter yang berlaku secara nasional. Karena SPM pendidikan mencerminkan spesifikasi teknis layanan pendidikan dan merupakan bagian standar nasional. Indikator pencapaian SPM pendidikan adalah kuantitatif dan kualilatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi, yaitu berupa masukan, proses, hasil dan memanfaatkan pelayanan pendidikan di sekolah. Sedangkan pengertian pelayanan dasar adalah pelayanan pendidikan bagi siswa yang mutlak untuk dipenuhi. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabankan serta mempunyai batas waktu pencapaian.

Salah satu contoh SPM dibidang pendidikan dalam pengelolaaan sarana dan prasarana. Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berekreasi, serta sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang tempat bermain / berolahraga, proses pembelajaran, termasukpenggunaan tekhnologi, informasi dan komunikasi.


BAB III
PENUTUP

Demikian gambaran penerapan MBS di Indonesia. Yang perlu ditegaskan adalah sejauhmana kita sebagai para pelaku pendidikan mampu mengaktualisasikan dalam dunia pendidikan kita.
Dalam bentuk apapun sistem manajemen yang teraplikasikan di lapangan tiada mungkin tercapai manakala semua pihak yang berkompeten di dalamnya tidak berperan secara aktif. Sistem manajemen apapun nama konsepnya dalam implementasinya secara luas dan mendasar yang amat diperlukan adalah dukungan politik baik itu sekedar political will maupun dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan formal.
Pada dasarnya tidak ada satu strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin keberhasilan implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Oleh karena itu, strategi yang diterapkan di suatu negara satu dengan negara lain bisa berbeda, bahkan antar sekolah dalam daerah yang sama pun bisa berlainan strateginya.



1 komentar:

  1. alkhmdulillh...tgas ini dapat terselesaikan,,dalam semua kekurangan yg kami miliki,,mohon kritik dan saran,,,,,,,,,,,,,trimaksh(kelompok)

    BalasHapus