Rabu, 13 Oktober 2010

tugas MBS kelompok 2

Penerapan MBS di Indonesia
Abstrak
Telah banyak usaha peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar tetapi hasilnya tidak begitu menggembirakan. Dari berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan, hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
  1. Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan.
  2. Kedua, penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.
  3. Ketiga, peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas.
Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu dilakukan reorientasi penyelengaraan pendidikan melalui Manajemen Berbasisi Sekolah (School Based Management).
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota masyarakat dlm bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Batasan masalah :
  1. Apa itu Manajemen Sekolah
  2. Apa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)
  3. Apa manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
  4. Apa Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?
  5. Apa Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
  6. Apa karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
  7. Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses Pemberdayaan
1. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan (organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan (coordinating),
5. mengawasi (controlling), dan
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah
3. Manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS
)
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
BAB II
Pembahasan

Model MBS yang diterapkan di Kanada lebih dikenal dengan pendelegasian keuangan (financial delegation). Gerakan ke arah MBS dimulai di Edmonton Public School District, Alberta, dimana pendekatan yang digunakan dikenal sebagai “School-site decision-making”, yang telah menghasilkan desentralisasi alokasi sumber daya, baik tenaga pendidik dan kependidikan, perlengkapan, barang-barang keperluan sekolah. maupun layanan pendidikan. Langkah awal dimulai pertengahan tahun 1970 dengan tujuh sekolah rintisan, dan diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan manajemen-mandiri (self management) secara komprehensif pada tahun 1980-1981, yang pada akhirnya hingga saat ini telah dilembagakan.
Ciri model ini adalah tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Di tahun 1986, sekolah rintisan yang melibatkan 14 sekolah, memperluas pendekatan dengan melibatkan layanan konsultan pusat. Ciri penting di sini adalah model formula-alokasi-sumber daya. Sekolah menerima alokasi secara “lumpsum” ditambah suplemen yang menggambarkan biaya layanan konsultan yang secara historis pernah dilakukan, sesuai dengan tipe sekolah dan tingkat kebutuhan siswa. Alokasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam anggaran yang berbasis sekolah (school based budget). Standar biaya untuk berbagai tipe layanan (service) kemudian ditentukan. Tagihan pembayaran kepada sekolah pun sesuai dengan layanan yang dimintanya. Sekolah dapat memilih jenis layanan selain yang disediakan oleh daerah. Program pengefektifan guru juga diadakan tahun 1981. Pada tahun 1986-1987 program pengembangan profesional guru dengan pendanaan dari “school based budget” dilakukan setengah hari per minggu. Kegiatan ini menjangkau sebagian besar sekolah dan mencapai sekitar 50 % guru-guru. Dalam rangka menjamin akuntabilitas, proses monitoring dikembangkan. Para siswa pada tahun ke-3, 6, 9, dan 12, secara reguler diuji untuk semua bidang bidang pada kurikulum. Benchmark atau standar tingkat kemampuan atau prestasi yang dicapai, kemudian ditentukan, dan digunakan sesudah tahun 1987 sebagai dasar perbandingan prestasi siswa pada tahun berikutnya. Setiap tahun, survai pendapat dilakukan kepada siswa, guru, kepala sekolah, staf daerah, dan orang tua siswa yang memungkinkan dilakukannya pengklasifikasian tingkat kepuasan mereka dalam kaitan dengan peran-peran mereka.
Pada tahun 1994, Provinsi Alberta merencanakan untuk memulai restrukturisasi sistem secara keseluruhan. Restrukturisasi itu berkaitan dengan meng-undang-kan reformasi yang luas di bidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada Departemen Pendidikan yang lebih kecil, pengurangan jumlah “school district” secara drastis dari 140 menjadi 60, serta penyerahan sebagian besar kewenangan kepada tingkat sekolah. Ciri kunci reformasi ini terletak pada peningkatan keterlibatan orang tua, masyarakat, dan kalangan bisnis, dengan kewenangan untuk pengambilan keputusan dalam layanan pendidikan, termasuk penyediaan sumber daya, dan menentukan hasil yang akan dicapai. Pengenalan “Charter Schools” dengan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan, juga dituangkan di dalam perundangan yang baru.
Model MBS di Hongkong
lebih dikenal sebagai School Management Initiative (SMI), yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Model SMI menetapkan peran-peran mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah, terutama sponsor, “managers” dan kepala sekolah. Hal tersebut memberikan peluang yang lebih besar bagi guru, orang tua, dan alumni (former students) untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making), manajemen; mendorong perencanaan dan evaluasi kegiatan sekolah yang lebih sistematik, serta memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam hal pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Prinsip penyelenggaraan sekolah menekan-kan pada manajemen-bersama (joint management), serta mendorong partisipasi guru, orang tua, dan siswa dalam penyelenggaraan sekolah. Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu: (a) peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan; (b) peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah; (c) fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah; (d) partisipasi dalam pengambilan keputusan; serta (5) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas. Dengan adanya lima kebijakan SMI ini ialah untuk memecahkan beberapa masalah-masalah pendidikan, seperti: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan, menekankan pada kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai uang. Model SMI yang diterapkan di Hongkong ini didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti program remedial, dan bimbingan siswa. Kebijakan ini mengubah model manajemen yang sentralistik, serta memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan.
MBS di indonesia
Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, rintisan program MBS di SD dan MI telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Program ini menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkan. Manajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam peningkatan mutu pendidikan Indonesia dibantu oleh UNESCO, UNICEF, Pemerintah New Zealand, Australia dan Amerika Serikat untuk merintis program MBS. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki.
Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
Implementasi MBS
Pada sistem MBS sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. MBS juga merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi siswa. Hal ini juga berpotensi untuk meningkatkan kinerja staf, menawarkan partidipasi langsung kepada kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman kepada masyarakat terhadap pendidikan. Pengertian MBS “Suatu konsep yang menempatkan kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar “ Tujuan MBS Tujuan utama penerapan MBS pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah pelaksanaan proses dan pusat sehingga manajemen menjadi lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran di serahkan kepada unit yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu sekolah. Disamping itu untuk memberdayakan sekolah agar sekolah dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut. Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif.
Peningkatan kualitas pendidikan sangat menekankan pentingnya peranan sekolah sebagai
pelaku dasar utama yang otonom, dan peranan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan
pendidikan. Sekolah perlu diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri
sesuai dengan kondisi lingkungan dan dan kebutuhan pelanggan. Sekolah sebagai institusi otonom diberikan peluang untuk mengelolah dalam proses koordinasi untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Konsep pemikiran tersebut telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu yang berbasis sekolah. Pendekatan inilah yang dikenal dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Karakteristik MBS di tingkat sekolah secara keseluruhan memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pendidikan, baik dari segi kekuasaan sekolah mengatur secara keseluruhan strategi apa yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan.
Prinsip good governance.
·           Partisipasi guru secara profesional dalam kerangka pengembangan MBS perlu memiliki kompetensi antara lain kompetensi kepribadian (integritas, moral, etika dan etos kerja), kompetensi akademik (sertifikasi kependidikan, menguasai bidang tugasnya) dan kompetensi kinerja (terampil dalam pengelolaan pembelajaran, karena tanggungjawab pokok pembentukan moral maupun intelektual dalam sekolah terletak pada para guru.
Peran orang tua dan masyarakat juga tak kalah pentingnya, bukan hanya dari segi finansial saja akan tetapi juga dengan mengontrol siswa atau siswi dalam pembelajaran dirumah, menjaga dan menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol sosial di sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat dengan jalan menjadi penggerak, informan dan penghubung, koordinator dan pengusul.
·           Transparansi MBS dimaksudkan agar orang tua dan masyarakat mengerti semua dari segi strategi pembelajaran dan anggaran biaya secara terbuka dan tidak ada yang disembunyikan agar tujuan pendidikan dapat  tercapai.
·           Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal membuat persiapan, melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping them make progress in their learning.
Ilustrasi penerapan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pembelajarannya di kelas.
Dalam pembelajaran dikelas pendidik harus mampu menguasai suasana pembelajaran, seluruh peserta didik tidak boleh ada satu pun yang terabaikan, partisipasi antar seluruh komponen kelas yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Transparansi guru menceritakan keadaan kelas dan sekolah mengenai kekurangan maupun kelebihan agar peserta didik termotivasi untuk ikut memperbaiki keadaan kelas, contoh, berpartisipasi aktif dan menjuarai lomba yang diadakan baik di tingkat sekolah maupun keluar sekolah.
Akunitabilitas didalam kelas guru harus mampu menyiapkan dan menguasai materi bahan ajar sehingga penerapan dalam pembelajaran menjadi maksimal dan pada akhirnya standar kompetensi bisa tercapai. Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, guru harus bisa menjadi suritauladan yang baik seperti membuang sampah tidak sembarangan.

Kesimpulan.
Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini berarti secara interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang berbeda, bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi berat relatifnya.
Pertanyaan mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional, dan lokal atau antara sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru, kita perlu bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya ?. (Bentley & Wilsdon, 2004).
Secara sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.
Saran
Pada dasarnya manajemen berbasis sekolah dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekwensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah. Pada kurikulum 2004 yang akan diberlakukan, pusat hanya akan menetapkan kompetensi-kompetensi lulusan dan materi-materi minimal. Daerah diberi keleluasaan untuk mengembangkan silabus (GBPP) nya yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam silabus sangat erat dengan program-program pembangunan daerah. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian. Studi yang dilakukan di El Savador, Meksiko, Nepal, dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Tetapi desentralisasi pengelolaan guru tidak secara otomatis meningkatkan efesiensi operasional. Jika pengelola di tingkat daerah tidak memberikan dukungannya, pengelolaan semakin tidak efektif. Oleh karena itu, beberapa negara telah kembali ke sistem sentralisasi dalam hal pengelolaan ketenagaan, misalnya Kolombia, Meksiko, Nigeria, dan Zimbabwe.
Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselengaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan adanya kurikulum lokal. Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan kebudayaan nasional.
Proses belajar mengajar menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat pemersatu bangsa.

Tim penyusun :
1. Trendy Setiawan                 292008197
2. Tri Wahyu Marisa               292008193
3. Efan Khairul Ammar          292008088
4. Andy Aryono                      292008078
5. Sudiyarto E Nugroho          292008014
6. Rindha Fitria PS                 292008006 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar