Rabu, 13 Oktober 2010

tugas MBS kelompok 3

Nama Kelompok :
1.      Setra April Fitriyani         292008022
2.      Sri Riwayanti                   292008042
3.      Leinna Mega Rainny        292008125
4.      Yunia Dwi Ardani           292008164
5.      Sri Ambar Tugiyati          292008181
6.      Rahmat Rais Sanjani        292008185

















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Abstraksi 
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan satu bentuk agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang menjadi sebuah kebutuhan untuk memberdayakan peranan sekolah dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Secara esensial Manajemen Berbasis Sekolah menawarkan diskursus ketika sekolah tampil secara relatif otonom, dengan tidak mereduksi peran pemerintah, terutama dalam bidang pendanaan.
Hal tersebut tentunya akan berakibat pada mutu pendidikan. Apabila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang akan bermuara pada sistem pendidikan bangsa kita.
B.     Latar belakang
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) didefinisikan sebagai penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional. Sebagai pelaku atau pihak- pihak yang terkait dalam proses dunia pendidikan harus mengerti tentang MBS secara utuh. Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional. Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Dalam rangka mencapai suatu pendidikan yang optimal perlu adanya dorongan dari berbagai pihak yang ikut berperan serta dalam MBS, serta mampu mengambil sikap yang tepat atas semua dorongan itu dan dapat menerapkan pemikiran etis teoritis atas masalah-masalah MBS yang dihadapi dalam kehidupan pendidikan. Selain itu pendidik adalah sebuah ethos kerja/profesi yang harus dibekali dengan berbagai pengetahuan, ketrampilan, serta sikap yang professional. Oleh karena itu, setiap pendidik adalah profesi dimana seorang guru atau pengajar harus memiliki pengetahuan, ketrampilan serta sikap yang professional untuk mendapatkan pendidikan yang optimal.
C.    Tujuan
Pembuatan makalah yang dilakukan mahasiswa dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Berbasis Sekolah. Kegiatan ini berguna bagi mahasiswa untuk menambah pemahaman tentang Manajemen Berbasis Sekolah dalam dunia pendidikan, dengan tujuan sebagai berikut:
1.      Mengetahui berbagai kegiatan MBS di Negara-negara maju dan berkembang,  apakah sudah benar-benar dilaksanakan dengan baik.
2.      Mengetahui pihak siapa saja yang terkait dalam MBS.
3.      Mengetahui tahap-tahap pelaksanaan MBS.
D.    Manfaat
1.      Agar mengerti struktur dalam MBS
2.      Dapat memberikan motivasi dalam menjalankan MBS











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Model MBS Dibeberapa Negara
1. Model MBS di Kanada
Sebelum diterapkannya MBS di Kanada, kondisi awalnya adalah semua kebijakan ditentukan dari pusat. Model MBS di Kanada disebut School – Site Decision Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. MBS di Kanada sudah dimulai sejak tahun 1970. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar dan administrasi, peralatan dan pelayanan.  Menurut Sumgkowo (2002)16, ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut: penentuan alokasi sumber daya ditentukan oleh sekolah, alokasi anggaran pendidikan dimasukkan kedalam anggaran sekolah, adanya program efektivitas guru dan adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja. Setiap tahun survey pendapat dilakukan oleh para siswa, guru, kepala sekolah, staf kantor wilayah dan orang tua yang memungkinkan mereka merangking tingkat kepuasan mereka tentang pengelolaan dab hasil pendidikan (Caldwell dan Spinks (1992) dalam Ibtisam Abu Duhou (2002)
2. Model MBS di Indonesia
Pada dasarnya, esensi MBS bukanlah sesuatu yang baru sama sekali di Indonesia. Meskipun belum menggunakan istilah MBS, sekolah atau madrasah yang sistem pengelolaannya dilakukan oleh swasta, baik yayasan, pesantren, badan hukum dan sebagainya, telah menerapkan prinsip-prinsip MBS tersebut. Formalisasi MBS dimaksudkan untuk lebih menekankan pada persoalan yang lebih mendasar dan mendalam tentang bagaimana implementasi MBS yang lebih tepat di sekolah. Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, rintisan program MBS di SD dan MI telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Program ini menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidika berdasarkan manajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Model MBS di Indonesia  disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS). Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana warga sekolah di dorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Sehingga diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
8 motif diterapkannya MBS di Indonesia :
1.             Motif Ekonomi
2.             Motif Profesional
3.             Motif Politik
4.             Motif Efisiensi Administrasi
5.             Motif Finansial
6.             Motif Prestasi Siswa
7.             Motif Akuntabilitas
8.             Motif Efektivitas Sekolah.
Hal yang terpenting dalam penerapan MBS adalah motif Prestasi Siswa. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa jika orang tua dan para guru diberi otoritas untuk membuat keputusan untuk mendukung prestasi atas nama sekolah mereka, iklim di sekolah akan berubah   untuk mendukung pencapaian prestasi siswa. Meskipun bukti empiris untuk mendukung asumsi ini tidak kuat, tetapi dalam konteks ini, jika MBS sebagai motif dalam implementasi MBS, maka yang diperlukan adalah bagaimana mengubah proses pembelajaran. Ini dapat dilakukan melalui otonomi dalam mendesain pembelajaran untuk meningkatkan prestasi siswa sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.
3. Model MBS di Hongkong
Model MBS di Hongkong lebih dikenal sebagai School Management Initiative (SMI), yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Lahirnya kebijakan SMI ini ialah untuk memecahkan beberapa masalah-masalah pendidikan, seperti: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan, menekankan pada kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai uang. Cheng (1996: 44) menyatakan bahwa munculnya model SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti program remedial, bimbingan siswa, dan beberapa penataran dalam-jabatan (inservice training). Kebijakan ini mengubah model manajemen yang sentralistik, serta memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan. Model SMI menetapkan peran-peran mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah, terutama sponsor, “managers” dan kepala sekolah. Hal tersebut memberikan peluang yang lebih besar bagi guru, orang tua, dan alumni (former students) untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making), manajemen; mendorong perencanaan dan evaluasi kegiatan sekolah yang lebih sistematik, serta memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam hal pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Prinsip penyelenggaraan sekolah menekankan pada manajemen-bersama (joint management), serta mendorong partisipasi guru, orang tua, dan siswa dalam penyelenggaraan sekolah.
Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu: (a) peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan; (b) peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah; (c) fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah; (d) partisipasi dalam pengambilan keputusan; serta (e) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas. Kerangka acuan akuntabilitas tersebut mencatat dua hal penting, yaitu tingkatan individual dan tingkatan sekolah secara menyeluruh. Pertama, sistem pelaporan atau penilaian direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan kepada dewan manajemen sekolah, serta memperhatikan penilaian yang dimiliki oleh Departemen Pendidikan, sebagai langkah awal. Kedua, akuntabilitas sekolah sebagai suatu keseluruhan. Setiap sekolah perlu membuat rencana tahunan sekolah, menetapkan tujuan dan kegiatan yang ingin dicapai pada tahun yang akan datang, serta mempertanggungjawabkannya. Perencanaan sekolah yang dibuat, memungkinkan sekolah untuk menentukan prioritas, membuat alokasi anggaran, dan mengkomunikasikan arah dan tujuan kepada masyarakat. Sekolah juga diminta untuk membuat profil sekolah tahunan yang memuat kegiatan pada tahun sebelumnya – yang digunakan untuk memetakan pencapaian pada sejumlah indikator seperti prestasi belajar siswa pada mata pelajaran utama, kegiatan non-akademis, profil tenaga kependidikan dengan memberikan gambaran tentang pergantian staf, kualifikasi, dan kompetensinya.
Dari lima kebiijakan dalam  SMI di Hongkong telah berhasil dalam pengelolaan MBS sedangkan Model MBS di Indonesia pelaksaanya hampir sama.
4. Model MBS di Amerika Serikat
Sistem pendidikan di AS, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (state) bertanggunjawab terhadap pelaksanaan pendidikan. MBS di AS disebut Side-Based Management (SBM) yang menekankan partisipasi dari berbagai pihak. Menurut Wirt (1991) yang dikutip oleh Ibtisam Abu Duhou, model MBS di Amerika Serikat walaupun ada perbedaan di Negara-negara federal, ada dua ciri utama reformasi pendidikan di Amerika Serikat sebagai implementasi dari MBS, yakni :
a.       Desentralisasi administratif : kantor pusat otoritas pendidikan menunjuk tugas-tugas tertentu yang dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru di lingkungan sekolah. Kantor pusat menyerahkan kewenangan ke bawah, tetapi sekolah local masih bertanggungjawab ke atas.
b.      Manajemen berbasis setempat (lokal), suatu struktur yang memberi wewenang kepada para orang tua, guru dan kepala sekolah di masing-masing sekolah untuk menentukan prioritas, mengalokasikan anggaran, menentukan kurikulum, serta menggaji dan memberhentikan staf.
Manajemen berbasis lokasi (site based management). Pada dasarnya manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekwensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah. Pada kurikulum 2004 yang akan diberlakukan, pusat hanya akan menetapkan kompetensi-kompetensi lulusan dan materi-materi minimal. Daerah diberi keleluasaan untuk mengembangkan silabus (GBPP) nya yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam silabus sangat erat dengan program-program pembangunan daerah. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan. Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian. Studi yang dilakukan di El Savador, Meksiko, Nepal, dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Tetapi desentralisasi pengelolaan guru tidak secara otomatis meningkatkan efesiensi operasional. Jika pengelola di tingkat daerah tidak memberikan dukungannya, pengelolaan semakin tidak efektif. Oleh karena itu, beberapa negara telah kembali ke sistem sentralisasi dalam hal pengelolaan ketenagaan, misalnya Kolombia, Meksiko, Nigeria, dan Zimbabwe.
Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselengaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan adanya kurikulum lokal. Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan kebudayaan nasional.
Proses belajar mengajar menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat pemersatu bangsa.
B.     Implementasi MBS
  1. Latar belakang implementasi MBS
Sekolah merupakan suatu organisasi, kepemimpinan dan manajemen. Sebagai suatu organisasi, sekolah memerlukan tidak hanya seorang manajer untuk mengelola sumberdaya sekolah, yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan administrative lainnya, melainkan juga memerlukan pemimpin yang mampu menciptakan sebuah visi dan mengilhami staf dan semua komponen individu yang terkait dengan sekolah. Sejak beberapa waktu terakhir, dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi (Dharma, 2003. “Manajemen Berbasis Sekolah”.
MBS menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara terbuka pada papan sekolah. Keterbukaan ini telah meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah. Banyak sekolah yang melaporkan kenaikan sumbangan orang tua untuk menunjang dan meningkatkan pemberdayaan mutu pendidikan sekolah.
Tujuan utama  MBS adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan. Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Pada intinya perlunya implementasi MBS yaitu, menjadikan sekolah mempunyai otonomi atau kewenangan sendiri dan tanggung jawab yang besar serta penggunaan sumber daya yang di gunakan untuk pemecahan masalah dan menciptakan pendidikan yang efektif bagi perkembangan sekolah.
  1. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a.       MBS menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Sekolah harus mampu menyediakan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebab pada hakikatnya penyelenggaraan pendidikan bertujuan mempersiapkan peserta didik untuk mampu hidup di masyarakat.
b.      Siswanya biasanya datang dari berbagai latar belakang kesukuan dan tingkat sosial. Sekolah tidak membeda-bedakan suku maupun status sosial para peserta didiknya. Dalam hal ini, sekolah harus ditujukan pada azas pemerataan peluang yang sama untuk memperoleh kesempatan.
c.       Sekolah harus meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan mutu serta bertanggung jawah terhadap masyarakat dan pemerintah
Untuk mengetahui apakah sebuah sekolah telah melaksanakan MBS atau belum, dapat diketahui dengan memperhatikan ciri-ciri yang berkaitan dengan :
a.       Sejauh mana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah.
b.      Pelaksanaan Kegiatan Proses Pembelajaran.
c.       Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM).
d.      Pengelolaan Sumber Daya Administrasi.
  1. Karakteristik Sekolah Yang  Telah Menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah
a.       Efektifitas Proses Belajar Mengajar Tinggi
Hal ini ditunjukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik. Mengubah pola Schooling menjadi learning, sehingga tingkat kemandirian siswa lebih tinggi. Dalam pembelajaran guru menerapkan pendekatan pakem.
b.      Kepemimpinan Kepala Sekolah yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya, melalui program-pogram yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Kepala Sekolah dituntut mempunyai kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang memadai, agar mampu mengambil prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah.
c.       Sekolah memiliki kewenangan untuk melaksanakan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut memiliki kemandirian dalam setiap pengambilan keputusan.
d.      Perlu partisipasi warga sekolah dan masyarakat. Sekolah memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat semakin nampak. Makin tinggi tingkat partisipasinya, makin besar pula rasa memiliki dan rasa tauggung jawabnya. Dengan demikian dilakukan, pemberdayaan terhadap Komite Sekolah dan tokoh masyarakat dalam 3 aspek diatas sehingga mereka lebih memahami dan menghargai pendidikan dan akan memberikan dukungan yang lebih besar kepada sekolah.
e.       Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif
Pengelolaan tenaga kependidikan terutama guru, harus dianalisa kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, sampai dengan imbal jasa perlu diperhatikan.
f.       Sekolah Melakukan Evaluasi Perbaikan secara Berkelanjutan
Manfaat hasil evaluasi belajar, bukan hanya untuk mengetahui daya serap kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting untuk memperbaiki PMB di sekolah. Perbaikan yang terus menerus merupakan kebiasaan bagi warga sekolah agar mencapai peningkatan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara optimal. Oleh karena itu sekolah harus memiliki sistim mutu yang baku sebagai acuan untuk perbaikan.
g.      Sekolah memiliki “Team Work” yang kompak, cerdas, dan dinamis.
Kebersamaan merupakan karakteristik yang dituntut oleh MBS karena out put pendidikan merupakan MBS. Ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, penggunaan dana, hasil yang dicapai maupun kebijaksanaan lainnya. Selalu melibatkan pihak-pihak yang terkait sebagai alat kontrol.
h.      Sekolah Memiliki Budaya Mutu
Budaya mutu harus tertanam di sanubari warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme.
Elemen-elemen budaya mutu antara lain :
1.      Informasi kwalitatif harus digunakan untuk perbaikan.
2.      Kewenangan harus sebagai tanggungjawab.
3.      Harus diikuti “rewards” (hadiah) dan “punishments” (hukuman)
4.      Partisipasi-sinergis harus merupakan basic untuk kerjasama. Setiap warga sekolah selalu dilibatkan dalam menyusun program sehingga tidak ada diskomunikasi hasil yang dicapai pada setiap pelaksanaan program harus ditanggapi positif oleh semua warga sekolah.
5.      Diciptakan iklim keadilan.
Setiap pemberian tugas kepada warga sekolah harus profesional, sesuai kemampuan yang dimiliki.
6.      Imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaan.
Pemberian kesejahteraan kepada warga sekolah harus sesuai dengan tugas yang dilaksanakanya.
7.      Ikut handarbeni sekolahnya.
Setiap warga sekolah harus mempunyai komitmen untuk menjaga keberadaan sekolah sehingga masing-masing anggota warga sekolah selalu merawat dan menjaga keutuhan segala sesuatu yang dimiliki sekolah seperti mereka menjaga miliknya sendiri
i.        Sekolah Memiliki Akuntabilitas
Sekolah harus memiliki tanggung jawab terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan, ini dapat berbentuk laporan prestasi yang dicapai, baik kepada pemerintah, orang tua, masyarakat. Jika kurang berhasil, orang tua / masyarakat berhak untuk minta penjelasan kepada sekolah, sehingga sekolah lebih hati-hati untuk melaksanakan program pada tahun yang akan datang.
  1. Partisipasi, Transparansi, dan Akuntabilitas di dalam Good Goverence MBS
Partisipasi adalah kemampuan warga langsung dan tidak langsung untuk mengerti dan bersuara atau mempengaruhi proses pengambilan keputusan (politis). Partisipasi mulai dari tingkat rendah (a) berbagi informasi, (b) konsultasi, lalu ketingkat yg lebih tinggi, (c) kolaborasi berbagai peran dalam pengambilan keputusan dan sumberdaya, dan (d) pemberdayaan memberikan wewenang untuk pengambilan keputusan dan sumberdaya.
Transparansi adalah kemampuan rakyat/warga untuk (a) memperoleh dan mengerti informasi tentang pelayanan SD/MI, proses penyusunan anggaran dan penetapan keputusan biaya; dan (b) memantau atau mengidentifikasikan secara tepat siapa sebenarnya pembuat keputusan serta apa peran mereka dalam pengambilan keputusan.
Akuntabilitas berarti kewajiban pembuat keputusan untuk (a) tanggap atas warga perihal kebutuhan mereka; dan (b) kemampuan warga untuk meminta pertanggungjawaban pembuat kebijakan atas janji mereka.
Kata partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas sesungguhnya adalah bagian-bagian yang termaktub di dalam bahasan Good Governance atau sering di Indonesiakan menjadi “tata pelayanan yang baik”. Sejak era keterbukaan di Indonesia ketiga kata ini menjadi tema paling populer dalam setiap diskusi dihampir semua tingkatan masyarakat. Di ranah pendidikan juga hal ini bukan sesuatu yang baru, sangat mudah dan enak didiskusikan tapi begitu sulit diimplementasikan. Hakekat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) juga meliputi partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, untuk mengawal dunia pendidikan kearah peningkatan kualitas yang lebih baik. Perubahan paradigma dari sistim pendidikan sentralistik yang kaku, birokratis, dan otoriter dimasa lalu, ke sistim pendidikan yang desentralistik, membutuhkan kerja keras dan waktu yang cukup oleh segenap pemangku kepentingan pendidikan untuk mensosialisasikan secara intensif keberbagai pihak. Dalam proses menggulirkan ketiga prinsip di atas diharapkan mengedepankan prinsip kemandirian, keluwesan dan fleksibilitas melalui komunitas pendidikan di sekolah, karena hal ini menjadi bagian dari hakekat dari MBS maka secara bertahap komunitas sekolah perlu difasilitasi untuk meningkatkan pemahaman dan mendorong terciptanya suasana partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam berbagai aspek pada komunitas sekolah. Dari sudut pandang regulasi, pada beberapa aturan-aturan yang berkenaan dengan pendidikan juga sudah mengapresiasi ketiga hal di atas, diantaranya UU. No. 20 tahun 2003, PP. No. 19 tahun 2005, UU. No. 23 tahun 2003, karenanya komunitas sekolah juga dirasa perlu memperolah informasi tentang regulasi yang terkait ketiga hal di atas, yang diharapkan dapat mendukung terciptanya dinamika di sekolah yang partisipatif, transparan, dan akuntabel.


  1. Partisipasi, Transparansi, dan Akuntabilitas pembelajaran di kelas
Penerapan prinsip partisipsi
Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran, guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Partisipasi aktif siswa dalam belajar merupakan persoalan penting dan mendasar yang harus dipahami, disadari, dan dikembangkan oleh setiap guru di dalam proses pembelajaran. Hal ini berarti bahwa partisipasi aktif ini harus dapat diterapkan oleh siswa dalam setiap bentuk kegiatan belajar. Keaktifan belajar ditandai oleh adanya keterlibatan secara optimal, baik intelektual, emosional, dan fisik juga dibutuhkan.
Contoh penerapan prinsip partisipasi dalam kelas Guru merancang/ mendesain pesan pembelajaran dan mengelola KBM yang mendorong siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran , Guru menugaskan siswa dengan kegiatan yang beragam , misalnya: Percobaan, Diskusi kelompok, Memecahkan masalah,  Mencari informasi, Menulis laporan/cerita/puisi, Berkunjung keluar kelas. Bambang Warsita (2008) menyatakan bahwa Penerapan prinsip partisipasi aktif dalam rancangan bahan ajar dan aktifitas dari guru di dalam proses pembelajaran adalah dengan cara:
1.      Memberi kesempatan, peluang seluas-luasnya kepada siswa untuk berkreativitas dalam proses belajarnya.
2.      Memberi kesempatan melakukan pengamatan, penyelidikan atau inkuiri dan eksperim.
3.      Memberi tugas individual atau kelompok melalui kontrol guru.
4.      Memberikan pujian verbal dan non verbal terhadap siswa yang memberikan respon terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
5.      Menggunakan multi metode dan multi media di dalam pembelajaran.
Aunurrah, (2009) menambahkan bahwa ada cara-cara lain yang dapat digunakan sebagai prinsip partisipasi aktif siswa dalam merancang bahan ajar yaitu :
1.      Memberikan pertanyaan-pertanyaan ketika proses pembelajaran berlangsung
2.      Mengerjakan latihan pada setiap akhir suatu bahasan
3.      Membuat percobaan dan memikirkan atas hipotesis yang diajukan
4.      Membentuk kelompok belajar
5.      Menerapkan pembelajaran kontekstual, kooperatif, dan kolaboratif
Bentuk bahan ajar yang dapat digunakan untuk mengembangkan partisipasi aktif siswa bisa dengan Modul maupun CD Pembelajaran untuk menampilkan audio, visual maupun audio visual.
Penerapan prinsip transparansi
Transparansi guru menceritakan keadaan kelas dan sekolah mengenai kekurangan maupun kelebihan agar peserta didik termotivasi untuk ikut memperbaiki keadaan kelas, contoh, berpartisipasi aktif dan menjuarai lomba yang diadakan baik di tingkat sekolah maupun keluar sekolah.
Penerapan prinsip akuntabilitas
Akuntabilitas didalam kelas guru harus mampu menyiapkan dan menguasai materi bahan ajar sehingga penerapan dalam pembelajaran menjadi maksimal dan pada akhirnya standar kompetensi bisa tercapai.Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, guru harus bisa menjadi suritauladan yang baik seperti membuang sampah tidak sembarangan.
  1. Kriteria Keberhasilan Implementasi MBS
Keberhasilan implementasi MBS adalah sebagai berikut:
a         Dilihat dari aspek pemerataan dan peningkatan akses adalah meningkatnya nilai APK, APM dan AT.
b        dilihat dari aspek mutu adalah meningkatnya prestasi akademik dan non- akademik siswa, seperti nilai ujian sekolah, meraih prestasi dalam olimpiade matematika, dan sebagainya.
c         dilihat dari aspek layanan pendidikan di sekolah adalah berkurangnya jumlah siswa yang tinggal kelas, drop out, dan sebagainya.
Adapun ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS dilihat dari berbagai aspek, yaitu
a         aspek organisasi: sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan dapat menggerakkan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan.
b        Pembelajaran: meningkatkan kualitas belajar siswa, menyelenggarakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
c         sumber daya manusia: memberdayakan staf dan menempatkan personil yang dapat melayani keperluan siswa, menyediakan kegiatan untuk pengembangan profesi staf.
C.    Hambatan MBS dan cara mengatasi
1.      Hambatan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
a.       Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
b.      Tidak Efisien Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
c.       Pikiran Kelompok Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
2.      Cara mengatasi hambatan MBS
Pihak yang harus mengubah perannya dalam MBS agar dapat terwujud:
1.        Kekuasaan Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan dengan sistem pendidikan sebelumnya. Kekuasaan ini dimaksudkan untuk memungkinkan sekolah berjalan dengan efektif dan efisien. Kekuasaan yang dimiliki kepala sekolah akan efektif apabila mendapat dukungan partisipasi dari berbagai pihak, terutama guru dan orangtua siswa. Seberapa besar kekuasaan sekolah tergantung seberapa jauh MBS dapat diimplementasikan. Pemberian kekuasaan secara utuh sebagaimana dalam teori MBS tidak mungkin dilaksanakan dalam seketika, melainkan ada proses transisi dari manajemen yang dikontrol pusat ke MBS. Kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan keputusan perlu dilaksanakan dengan demokratis untuk mendorong karier warga sekolah, yaitu guru, karyawan dan siswa. Dengan sistem ini diharapkan akan muncul motivasi dan ethos kerja dari kalangan sekolah yang bersifat adil dan merata.
2.        Kewenangan yang Didesentralisasikan
Perencanaan dan Evaluasi Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sekolah sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana peningkatan mutu. Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya. Pengelolaan Kurikulum Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam impelentasinya sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi kebebasan untuk mengembanhgkan kurikulum muatan lokal.Pengelolaan Proses Belajar Mengajar Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan penagjaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran siswa.
Pengelolaan Ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sanksi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dan sebagainya) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh Pemerintah Pusat/Daerah. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan) Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasarkan oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya.Pengelolaan Keuangan Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentraslisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah.



Cara pemecahan agar kendala tersebut dapat diminimalisir kehadirannya dalam pelaksanaan MBS di sekolah
1. Pengelolaan kurikulum.
Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh Pemerintah Pusat. Pada fungsi ini telah dikembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar melalui penjabaran kedalam indikator-indikator setiap mata pelajaran  dan  juga  pengembangan  kurikulum muatan lokal.
2. Pengelolaan proses belajar mengajar
Sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Pada fungsi ini, guru telah diberi kebebasan memilih metode-metode yang tepat dalam proses pembelajaran yang intinya adalah peruses pembelajaran konstruktif.
3. Pengelolaan ketenagaan.
Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya. Fungsi ini telah dilaksanakan dalam bentuk  pengadaan guru tidak tetap dan pegawai tidak tetap berdasar kepada kompetensi dasar bagi guru dan pegawai administrasi, pelatihan yang erus menerus.
4. Pengelolaan peralatan dan perlengkapan.
Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga pengembangannya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan, kesesuaian dan kemutakhirannya terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar. Fungsi ini telah dilaksanakan dalam bentuk pengadaan barang yang didahului oleh analisis skala prioritas, perbaikan/penggantian  sarana dan prasarana belajar termasuk pengembangannya dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan.
5. Pengelolaan keuangan.
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah. Fungsi ini ditandai dengan penggunaan keuangan yang ada di sekolah melalui pendistribusian pada RAPBS yang disusun oleh Kepala Sekolah bersama Komite Sekolah serta guru senior. 
6. Pelayanan siswa.
Fungsi ini telah dilaksanakan dalam bentuk pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dan dari tahun ketahun diadakan  peningkatan intensitas dan ekstensitasnya
7. Hubungan sekolah dan masyarakat.
Fungsi ini telah dilaksanakan melalui  hubungan sekolah dan msyarakat  untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan  dan dari tahun ketahun  intensitas dan ekstensitasnya terus ditingkatkan.
8. Pengelolaan iklim sekolah.
Fungsi ini telah dilaksanakan dalam bentuk menciptakan Iklim sekolah yang kondusif-akademik yang merupakan merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa. penerapan MBS. efektivitas sekolah dan peningkatan mutu pendidikan secara umum. 
D.    Standar Pelayanan Minimal
Standar pelayanan minimal bidang pendidikan mempunyai hubungan yang erat dengan MBS, hal ini di tunjukkan dengan adanya peran masing – masing system yang memiliki andil yang cukup besar dalam menunjang segala aktifitas di seluruh lingkungan sekolah.
Contoh:
a         pengelolaan keuangan yang transparan,
b        program pengembangan bakat dan minat anak dengan dimasukkan program ekstra kulikuler dalam satuan pembelajaran.
Standar pelayanan minimal pendidikan pengelolahan sekolah dan bidang sarana dan prasarana sekolah yang harus ada di SD/MI
a)      Cukup cahaya
b)      Ada sumber belajar
c)      Ada alat peraga
d)     Sirkulasi udara yang cukup
e)      Tidak terlalu padat
f)       Leluasa bergerak
g)      Dekat sumber belajar
h)      Memudahkan mobilitas dan interaksi siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan seterusnya
i)        Ada hasil pajangan anak
j)        Banyak poster yang bermanfaat
k)      Guru yang ramah dan humoris
l)        Semua yang menjadi objek belajar siswa
m)    Ada susunan buku yang mudah di jangkau
n)      Semua yang mengandung informasi dan dapat di jadikan bahan belajar






















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan sarana untuk mengatur dan mengelola segala sesuatu yang berkaitan dengan sekolah. MBS ini bersifat otonom, jadi sekolahlah yang memiliki kewenangan dalam pengembangan kemajuan di sekolahnya. Tujuan MBS yang paling utama adalah meningkatkan mutu prestasi siswa.




















DAFTAR PUSTAKA
http:// speechclinic.wordpress.com/2009/04/25/mbs/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar